Senin 21 Mar 2016 21:20 WIB

Pemerintah Dinilai Enggan Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
Mahasiswa dengan foto korban tragedi Mei mengikuti Peringatan 17 Tahun Tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta, Selasa (12/5).  (Antara/Sigid Kurniawan)
Mahasiswa dengan foto korban tragedi Mei mengikuti Peringatan 17 Tahun Tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta, Selasa (12/5). (Antara/Sigid Kurniawan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Senior Viktimologi, HAM dan Kesejahteraan Sosial Fakutas Hukum UI Heru Susetyo menilai, pemerintah enggan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Selain memang ada kesulitan untuk menggelar pengadilan HAM karena sudah hilangnya bukti, saksi, korban dan pelaku.

“Ada dua hal unwilling (enggan) dan unable (tidak sanggup),” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (21/3).

Heru mengatakan dulu ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi komisi tersebut dibubarkan keputusan Mahmakamah Konstitusi.

Jika memang pemerintah ingin merekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu, maka pemerintah harus kembali menghidupkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi, menurut Heru untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu normalnya membawa pelaku ke pengadilan HAM. 

Memang untuk beberapa kasus yang sudah terlampau jauh seperti peristiwa 1965, Malari, DII TII, atau Timor Leste proses penyelesainnya dilakukan dengan rekonsiliasi. Karena sulitnya mencari bukti, saksi, korban dan pelaku. “Mau mengadili siapa 65, Soeharto sudah meninggal, Banser-bansernya juga sudah mungkin banyak yang meninggal,” ucap Heru.

Rekonsiliasi menurut dia, tidak berarti melupakan kejahatan tapi hanya memaafkan. Karena itu membutuhkan kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya.  Ia menambahkan jika pemerintah ingin benar-benar menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, proses rekonsilasi benar-benar dilaksanakan.

“Rakyat jangan di PHP-in lagi, rakyat capek di PHP terus,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan, perkara-perkara tersebut akan selesai pada Mei 2016.

"Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement