REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Anggapan konsumsi alkohol seperti minum wine (anggur) dalam takaran tidak berlebihan akan membuat usia lebih panjang, kini dipertanyakan dalam sebuah hasil penelitian yang dirilis Selasa (22/3).
Prof Tanya Chikritzhs dari Curtin University Australia yang memimpin penelitian internasional ini menjelaskan, dari 87 penelitian terdahulu yang dilakukan terkait topik ini pada umumnya menggunakan metodologi yang meragukan.
"Masalah utama dari kebanyakan penelitian itu terdahulu adalah cara mereka membandingkan antara kelompok peminum dan bukan peminum alkohol dalam menentukan siapa yang ternyata lebih sehat," ujar Chikritzhs kepada ABC.
Dijelaskan, dalam penelitian terdahulu kelompok yang merupakan peminum moderat lebih sering diperbandingkan dengan mereka yang tidak minum. Chikritzhs mengatakan, metode seperti itu bermasalah sebab kelompok yang tidak minum mencakup pula mereka yang sudah berhenti minum alkohol akibat kondisi kesehatan mereka yang semakin menurun.
"Jadi tampaknya mereka sengaja menciptakan situasi yang membuat kelompok yang tidak minum kondisi kesehatannya justru lebih buruk dibandingkan kelompok yang minum," jelasnya.
Chikritzhs menjelaskan ada cara lain menemukan dampak konsumsi alkohol bagi kesehatan secara lebih akurat.
"Penelitian kami justru membandingkan antara kelompok yang minum alkohol dalam takaran moderat dibandingkan dengan kelompok yang minum alkohol dalam takaran sangat sedikit yang secara biologis memang tidak akan berpengaruh pada tubuh mereka. Kami menemukan kelompok yang jarang minum itu hidupnya lebih lama dibandingkan dengan kelompok yang minum dalam takaran moderat," ujar Chikritzhs.
Namun, CEO Winemakers' Federation of Australia Paul Evans bersikukuh banyak bukti-bukti yang diakui secara internasional bahwa konsumsi alkohol dalam takaran moderat bermanfaat bagi masyarakat yang lebih luas. "Penelitian ini sangat bias karena dilakukan oleh organisasi yang posisinya anti-alkohol," katanya.
Penelitian ini telah dimuat dalam Journal of Studies on Alcohol and Drugs, dilakukan oleh peneliti dari University of Victoria Kanada, Institute for Scientific Analysis di California, Boston University Schools of Medicine and Public Health di Massachusetts serta National Drug Research Institute di Curtin University Perth.