REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ofyar Z Tamin menilai pemerintah adalah dalang dari segala konflik yang terjadi antara jasa transportasi konvesional dengan transportasi berbasis aplikasi online.
Ia menilai pemerintah tidak sigap membuat pengaturan soal transportasi model baru seiring perkembangan teknologi yang berjalan maju. Dampaknya benturan pun terjadi.
"Pemerintah tidak mau mikir, tidak mau capek, kalau ada masalah baru ribut," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (22/3).
Penggunaan teknologi untuk kemudahan transportasi baginya tidak ada bedanya dengan penggunaan e-book meski sudah ada penerbit buku, jasa pengiriman barang dengan titipan kilat, internet banking terhadap bank konvensional atau keberadaan alat telekomunikasi dan pertukaran pesan meski sudah ada pos yang melayani surat-menyurat.
Transportasi online berdasarkan aplikasi tidak bisa dihindarkan. Ia tidak pula bisa dilarang-larang karena timbul dari perkembangan teknologi informasi.
Teknologi telah sedemikian rupa memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini yang membutuhkan mobilitas tinggi, kepastian, kemudahan dan biaya murah.
"Online menjawab kebutuhan konsumen," ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah membuat pengaturan soal pajak, di mana perusahaan transportasi online pun harus dikenai pajak yang setara dengan perusahaan transportasi konvensional. Pengaturan tersebut harus jelas dan adil dan dilakukan sesegera mungkin.
Justru pemungutan pajak usaha transportasi sistem online lebih terdata dan transparan dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Sistem pemungutan pajak pun seharusnya bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Sisanya, biarkan usaha-usaha transportasi berkembang dengan kreativitasnya masing-masing. Pemerintah juga harus mengawal agar pelayanan transportasi baik yang konvensional maupun online menjamin keselamatan penumpang.
Bagi taxi konvensional, misalnya, harus juga peka beradaptasi dengan kemajuan teknologi. "Tidak ada yang terlambat," lanjutnya.