REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Sugihardjo mengatakan, sudah menanyakan dan memberi dua pilihan kepada Uber dan Grab mengenai polemik transportasi daring.
"Kami sudah tanyakan, pilihannya ada dua, apakah sebagai operator angkutan atau sebagai IT provider (penyedia jasa aplikasi)," katanya dalam jumpa pers bersama Uber, Grab, dan Organda, di kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (23/2).
Apabila Uber dan Grab memilih sebagai operator angkutan, harus tunduk pada aturan UU 22/2009 tentang angkutan jalan.
"Dia harus memenuhi berbagai aturan mengenai badan hukumnya, kendaraannya harus terdaftar. Kalau operasinya sebagai taksi, taksi cirinya harus pakai argo yang ditetapkan oleh pemda," lanjutnya.
Jika memilih sebaga rental, ia katakan, dimungkinkan juga dengan pelat hitam dan tanda khusus yang diberikan oleh pihak kepolisian.
Ia menerangkan, semua angkutan umum harus terdaftar, baik kaitannya dengan uji kir maupun aspek-aspek pengamanannya. Kemudian, jika sudah menyatakan sebagai angkutan umum, pengemudinya harus mempunyai SIM umum.
"Kalau jenisnya bus SIM B umum, kalau penumpang SIM A umum. Itu diatur di UU, tinggal pilihannya mau jadi operator lakukan itu. Tapi, kalau mau jadi penyedia jasa aplikasi itu silakan, tapi dia harus bekerja sama dengan pengusaha angkutan umum resmi yang sudah terdaftar," ungkapnya.
Ia menjelaskan, langkah tepat telah dilakukan taksi Grab yang sudah bekerja sama dengan operator taksi resmi yang tidak memiliki aplikasi. Hal itu tidak menyalahi aturan dan tidak ada yang dilanggar. Namun, persoalan terdapat pada layanan Grabcar.
"Kalau bentuk rental kan banyak di DKI angkutan-angkutan rental yang punya izin, kalau ingin cepat silakan kerja sama dengan yang punya izin. Tapi, mereka katakan akan membentuk koperasi, silakan juga. Tapi, semuanya harus mengikuti aturan yang ada," katanya menambahkan.