Rabu 23 Mar 2016 18:06 WIB

Pemerintah Jangan Lamban Merespons Fenomena Transportasi Daring

 Demonstran tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjukrasa didepan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/3).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Demonstran tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjukrasa didepan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia dibuat prihatin atas aksi demonstrasi yang dilakukan sopir moda transportasi di beberapa tempat di ibu kota, Selasa (22/3). Aksi yang berujung ricuh ditengarai akibat persaingan bisnis yang makin ketat dan dinilai timpang antara industri transportasi dalam jaringan (daring)/online dan industri konvensional.

Aksi rusuh para sopir taksi konvensional, dan bentrokan dengan sopir transportasi berbasis daring dianggap perlu disikapi pemerintah secara cepat dan tepat. Pengamat politik Universitas Nasional, Mohamad Hailuki menilai, gejolak yang terus berkelanjutan ini tak lebih dari dampak lambannya pemerintah merespons polemik transportasi di era kekinian.

"Munculnya kontroversi ojek pangkalan Vs ojek online tahun lalu, merupakan 'peringatan pertama' terhadap pemerintah, Kemenhub merespons dengan menerbitkan regulasi, namun sayangnya ketika itu Presiden Jokowi justru 'menegur' Menhub Jonan dan mempersilakan transportasi online beroperasi," ujar Luki, Rabu (23/3).

Apa yang terjadi hari ini, kata dia, berupa protes sopir taksi konvensional dan benturan horizontal, merupakan dampak dari 'pembiaran' yang dilakukan Presiden Jokowi tahun lalu. Dengan kata lain, kata Luki, policy yang diambil pemerintah saat itu tidak tepat.

Direktur Centre for Indonesian Political and Social Studies itu juga menilai, dengan tidak diaturnya regulasi transportasi daring, maka pemerintah menyerahkan pengaturan usaha kepada mekanisme pasar. Dari hari ke hari, tambah Luki, ini akan berimbas kepada kecenderungan semakin eksisnya transportasi daring.

Kendati demikian, negara tidak boleh melepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau persaingan bebas. Ini lantaran, tegas Luki, negara Indonesia bukan penganut sistem ekonomi kapitalis. Negara, lanjutnya, sebagai eksternalitas pasar harus melakukan intervensi guna mencegah terjadinya 'kemacetan' pasar akibat supply-demand yang tidak seimbang.

"Tarif mahal taksi konvensional harus dikendalikan tidak dengan menghadirkan kompetitor yang tidak sepadan," ujar Luki. Menurutnya, penyedia jasa transportasi daring harus ditarik masuk ke dalam sistem formal dengan pemberlakukan pajak yang sama agar perang tarif tidak semakin liar. Menurutnya, hal demikian akan menunjukkan fungsi negara dalam sistem ekonomi politik yang menghendaki pengaturan terhadap pasar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement