REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menolak keras adanya pengukuran yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri/Bumi Raya secara sepihak tanpa didasari legalitas yang sah.
"Selama ini, kami warga pulau Pari selalu mendapat intimidasi dari pihak PT Bumi Pari Asri/Bumi Raya yang memaksa warga untuk menandatangani surat kesepakatan sepihak yang sangat memberatkan warga," kata Acoy, ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (27/3).
Menurut Acoy, pihak pengembang tersebut selalu mengintimidasi warga yang tidak mau menandatangani surat tersebut dengan dalih akan memolisikan warga.
Sebagai warga, hidup mereka merasa tertekan karena mereka sudah ada di Pulau Pari selama lima generasi. Bahkan sebelum kemerdekaan, nenek moyang mereka sudah ada sebelum pihak pengembang itu datang.
"Tapi, mengapa tiba-tiba mereka datang dan mengklaim bahwa tanah Pulau Pari 100 persen milik dia?" katanya.
Sedangkan, Acoy melanjutkan, seperti diketahui di Pulau Pari ada gedung pusat penelitian (LIPI) milik pemerintah dan juga ada sarana umum, seperti masjid, mushala, sekolah dasar, madrasah, dan puskesmas.
Jadi, kalau seandainya perusahaan pengembang tersebut mengklaim 100 persen tanah tersebut milik mereka, berarti suatu saat mereka bisa dengan bebas untuk menghancurkan fasilitas umum itu dengan seenaknya bila suatu saat tanah tersebut mau mereka pakai.
Acoy mengaku sudah sering mengadu kepada pemerintah setempat, tapi belum ada kejelasan hingga saat ini. Mereka khawatir akan kehilangan hak wilayah kelola mereka di tanah yang mereka klaim sebagai tanah milik mereka sendiri.
Berdasarkan informasi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, tanah tersebut akan digunakan untuk dibangun resor atau hotel. Tentunya, akan ada reklamasi juga di Pulau Pari dan ini bagian efek dari rencana reklamasi 17 pulau Teluk Jakarta.