REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kerusuhan dan pembakaran Rumah Tahanan Negara (Rutan) Rumah Tahanan Negara (Rutan) Malabero, Kota Bengkulu, dinilai akibat pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah.
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah membeberkan, DPR melalui Komisi III sejak dulu sudah memberi peringatan adanya 'bom waktu' di pengelolaan lapas.
Yaitu, jumlah narapidana yang jauh melampaui kapasitas sebuah lapas. Namun, pemerintah sepertinya justru memelihara 'bom waktu' ini untuk meledak.
"Sepertinya ada mentalitas pejabat kita yang senang melihat seperti itu (kondisi lapas), memang 'bom waktu' itu," tegasnya di kompleks parlemen Senayan, Senin (28/3).
Fahri melanjutkan, dalam peringatan yang selalu disampaikan komisi III ke pemerintah, tidak ada satupun penjara di Indonesia yang jumlah penghuninya di bawah kapasitas.
Kebanyakan jumlah penghuni dalam satu lapas mencapai 100 persen bahkan 200 persen dari kapasitas yang ada. Kondisi ini membuat lapas menjadi 'bom waktu' yang setiap saat bisa meledak.
Sebab, dengan jumlah penghuni yang melebihi kapasitas tampung, membuat lapas sangat tidak layak disebut tempat pembinaan narapidana. Bahkan, dalam satu ruang tahanan, kata Fahri, penghuninya kebanyakan tidur di lantai secara berjejer mirip ikan pepes yang sedang dijemur.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyebut DPR pernah mengusulkan untuk membuat terpidana kasus terorisme dan Narkoba ditempatkan berbeda dengan narapidana kasus lain. Kalau narapidana kasus terorisme dan Narkoba digabung dengan penghuni kasus lain, membuat kondisi lapas menjadi tidak stabil.
"Saya kira kalau tidak ada terobosan memandang lapas, tinggal nunggu waktu saja," tegasnya.
Seharusnya, lapas dikelola dengan baik yang membuat penghuninya tetap dianggap manusia. Namun, lapas dengan kegiatan yang memberi bekal pada Napi agar dapat berkarya setelah keluar dari penjara masih sedikit. Meskipun, bentuk pembelajaran pada narapidana juga dapat diterapkan melalui konsep pesantren.