REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmita menegaskan jaminan ganti rugi ketika ada unggas yang terdampak depopulasi akibat terjangkit flu burung. Tujuannya mendorong agar peternak tak ragu melapor jika menemukan unggas yang diduga terjangkit flu burung. Pelaporan dan deteksi dini berguna agar virus tidak menyebar lebih parah ke unggas dan wilayah yang lain.
"Tapi tetap, kita sangat selektif untuk penggantian karena uang kita sedikit," katanya, Selasa (29/3). Mekanisme ganti rugi yakni setelah melalui pertimbangan teknis dan penghitungan yang matang. Depopulasi tidak diberikan atas pemusnahan unggas sakit, melainkan terhadap unggas karier yang tampak sehat, tapi ia berkumpul dengan kelompok unggas sakit. Depopulasi didahului uji laboratorium.
Ia menerangkan, unggas karier artinya unggas pembawa virus tetapi si unggas tidak menunjukkan klinis sakit. "Dia kelihatan sehat saja tapi ketika tes laboratorium, positif," tuturnya. Unggas jenis inilah yang harus didepopulasi.
Pemerintah hingga hari ini masih terus menurunkan tim pemantauan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah. Tim sudah terjun ke wilayah Sukabumi, Majalengka, Indramayu, Kuningan dan Purwakarta. Ia sendiri melakukan pemantauan di Balikpapan dan Makassar.
Kepada seluruh tim, ia meminta agar semua memperhatikan dan double check kondisi kesehatan unggas dan kelengkapan SKKH ayam hidup yg dikirim via pelabuhan Bakauheuni dan Merak. Lalu lintas unggas harus diperketat untuk mencegah wabah.
Intinya dari pemberantasan flu burung yakni koordinasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat soal Biosecurity. Vaksinasi sesuai clade virus di lapangan juga dilakukan sembari terus mempertegas larangan beternak unggas di perkampungan kumuh.
Pemerintah juga mendorong dibangunnya sistem peternakan kompartemen. Sebab, keberadaan sistem ternak umbaran membuka peluang penyebaran virus. "Ingat bahwa hampir 90 persen penyakit hewan menular karena lalu lintas hewan dan produknya," tuturnya.
Berdasarkan pengamatan, kata dia, puncak penyebaran flu burung memang terjadi pada Maret, namun akan menurun signifikan di April. Tapi tetap langkah-angkah strategis terus dibangun dengan sistem deteksi dini, pelaporan segera dan respons berupa penanganan yang juga cepat.