REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI TAW -- Presiden Myanmar Thein Sein yang sebentar lagi berakhir masa kepengurusannya mengangkat status kondisi darurat di negara bagian Rakhine, Selasa (29/3).
Keadaan darurat Rakhine diterapkan sejak Juni 2012 ketika kekerasan terjadi antara komunitas Buddha dan Muslim Rohingya.
Ratusan orang tewas saat itu dan sekitar 140 ribu orang, sebagian besar minoritas Muslim Rohingya yang dipaksa keluar dari rumah mereka. Sebagian besar tidak bisa pulang dan terpaksa hidup sebagai pengungsi yang hak-hak asasi dasarnya ditolak.
"Menurut pemerintah negara bagian Rakhine, saat ini tidak ada lagi ancaman yang membahayakan nyawa penduduk," kata pernyataan dalam media pemerintah. Jika keadaan darurat ini diangkat, artinya militer tidak lama lagi akan mengakhiri pengamanannya di sana.
Pengangkatan ini diputuskan di akhir masa kepresidenan Thein Sein sebagai presiden. Pada Rabu, Presiden terpilih Htin Kyaw akan dilantik jadi pemimpin baru.
Korban kekerasan di Rakhine ini sekarang menyebar di berbagai negara. Sebagian besar Rohingya tidak lagi diterima sebagai warga negara Myanmar. Mereka memiliki akses terbatas ke makanan, fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Pemerintah Myanmar menyebut mereka imigran ilegal. Mereka pun tidak diakusi secara warga negara. Nasionalisme Myanmar dan Buddha membuat diskriminasi semakin menjadi.
Baca juga, Pengamat: Rasa Salut Saya Memudar Terhadap Suu Kyi.