REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai penerima Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi hendaknya menampilkan makna perdamaian secara sejati. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakui dan menekankan pentingnya kemajemukan, baik agama maupun etnis, dan mendorong adanya kehidupan yang koeksistensi secara damai.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Din Syamsuddin mengatakan, sikap Suu Kyi juga harus bermuara pada pembelaan terhadap hal-hal berkaitan dengan suku Rohingya yang sudah mendiami kawasan Rakhine, Myanmar, cukup lama.
"Untuk itu, harusnya Suu Kyi memberi kewarganegaraan pada etnis Rohingya seperti yang sudah ada dulu," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (29/3).
Suu Kyi harus benar-benar mampu membuktikan diri pantas memperoleh Nobel Perdamaian. "Kalau tidak bisa menampilkan, sebaiknya statusnya sebagai penerima Nobel Perdamaian batal demi moral," kata pria yang juga menjabat sebagai presiden Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, Suu Kyi mengeluarkan pernyataan berbunyi, "Tak ada yang memberi tahu bahwa saya akan diwawancarai oleh seorang Muslim", usai diwawancara oleh presenter BBC Today Mishal Husain pada 2013.
Kekesalan Suu Kyi disebabkan pertanyaan yang diajukan Husain mengenai penderitaan yang dialami oleh umat Muslim di Myanmar. Memang, kejadian tersebut sudah terjadi tiga tahun lalu. Namun, hal tersebut baru terkuak belakangan ini berkat buku biografi berjudul, The Lady and The Generals – Aung San Suu Kyi and Burma’s Strunggle for Freedom, yang ditulis jurnalis the Independen, Peter Popham.