REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdebatan soal layak tidaknya nobel perdamaian kepada Aung San Suu Kyi muncul bukan hanya saat sikap rasisnya terhadap presenter BBC Mishal Husain yang seorang muslim. Sebelumnya penilaian tidak layak juga muncul oleh para aktivis kemanusiaan.
Menurut Aktivis Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono perdebatan terhadap tokoh demokrasi Myanmar ini muncul ketika ia lebih banyak diam atas penindasan etis minoritas Myanmar.
"Persoalan nobel Suu Kyi bukan hanya soal etnis Rohingya, Suu kyi juga diam terhadap etnis etnis minoritas lain di myanmar," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (29/3).
Di Myanmar hanya ada satu etnis mayoritas, yakni Birma atau Burma, sedangkan masih ada tujuh etnis minoritas lain di Myanmar yang terus mengalami diskriminasi. Suu Kyi dianggap hanya fokus pada proses demokrasi Myanmar tapi mengenyampingkan penindasan etnis minoritas lain oleh pemerintahan junta militer.
Bahkan Suu Kyi juga tidak banyak bersuara atas penderitaan etnis minoritas ini d itengah tekanan etnis mayoritas burma. Andreas mengatakan, nasionalisme yang diusung Suu Kyi merupakan nasionalisme sempit, ini mirip dengan cara pandang politisi di Indonesia pada Orde Baru.
Walaupun perdebatan nobel perdamaian Suu Kyi ini mengarah pada pencabutan, tapi diakui dia, tidak ada sejarahnya nobel kemudian dicabut.
Sebelumnya, sikap rasis Suu Kyi terungkap dari buku biografi karya Peter Popham yang terbit baru-baru ini. Dalam satu kesempatan usai usai wawancara bersama presenter BBC, Mishal Husain pada 2013 lalu, Suu Kyi bersikap rasial terhadap Husain yang juga seorang muslim.
Kekesalan Suu Kyi atas pertanyaan Husain terkait penderitaan muslim Rohingya. Namun Suu Kyi bersikap melecehkan, '"Tidak ada yang memberitahuku akan diwawancarai oleh seorang Muslim," kata Suu Kyi dalam buku karya Peter Popham itu.