REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja dari Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) mendapat perhatian dari sejumlah kalangan. Pemantiknya, kasus terbunuhnya terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34 tahun) setelah ditangkap Densus.
Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan, tindakan tidak profesional Densus 88 seperti dalam kasus Siyono akan menimbulkan bahaya yang lebih besar. (Densus Berikan Uang Rp 1,5 Juta ke Ayah Siyono).
Menurutnya, kasus terorisme yang terjadi belakangan di Tanah Air banyak lahir dari kebencian terhadap pihak kepolisian, baik dari keluarga terduga teroris yang menjadi korban serta gerakan tertentu lainnya.
"Dalam 6 tahun terakhir, aksi terorisme justru banyak dipicu karena pembalasan dendam terhadap kepolisian, bukan ideologi. Seharusnya Densus 88 bertindak profesional agar tidak melahirkan kebencian baru yang berujung terorisme dan aksi radikal lainnya," kata Harits kepada Republika.co.id, rabu (29/3).
Dia juga mengatakan, penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 belum bisa dikatakan berhasil. Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya 120 terduga teroris tewas dalam proses penangkapan dan 40 orang merupakan korban salah tangkap. Selain itu, lebih dari 80 persen jumlah yang ditangkap mengalami penyiksaan.
"Sudah seharusnya dan sangat rasional jika Densus 88 melakukan tranparansi terakit kinerja serta anggaran yang mereka miliki pada masyarakat. Dengan keengganan melakukan hal ini, upaya kontra terorisme tak akan berhasil, bahkan memperburuk keadaan," kata Harits.