REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah narapidana atau warga binaan Rumah Tahanan (Rutan) Malabero, Bengkulu, diduga melakukan pembakaran kamar tahanan dan menyebabkan lima narapidana tewas, akhir pekan lalu. Insiden rusuh di Rutan ini pun meninggalkan sejumlah catatan buat pemerintah.
Anggota Komisi III DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menilai, dari insiden ini dapat ditarik catatan khusus buat pemerintah, yaitu terkait ketidakseimbangan antara petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rutan dengan jumlah narapidana atau warga binaan.
Alhasil, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), menurut Sufmi, harus melakukan langkah-langkah tertentu untuk mensiasati kekurangan pegawai sipir tersebut.
''Misalnya Lapas Bogor itu harus membagi anggotanya untuk Rutan di Cibinong dan di LP Gunung Sindur. Dari tadinya ada 15 anggota menjadi sembilan. Sehingga perbandingan antara petugas dengan warga binaan sangat tidak sebanding,'' ujar Sufmi Dasco saat dihubungi Republika, Rabu (30/3).
Terkait keterbatasan personil Lapas dan Rutan tersebut, Sufmi menilai, hal ini merupakan salah satu dampak dari kebijakan moratorium pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
''Sehingga Kemenkumham jadi susah kan, tidak bisa menerima pegawai lagi,'' ujar Sufmi Dasco.
Sufmi menjelaskan, moratorium itu tidak perlu sepenuhnya dilakukan di semua lini instansi pemerintah. Perlu ada penyesuaian dan langkah-langkah khusus yang dilakukan terkait moratorium tersebut, terutama di instansi-instansi pemerintah seperti Kemenkumham.
''Untuk LP diberikan pengecualian khusus atau langkah-langkah khusus, agar bisa jalan terus,'' katanya.