REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Hak-Hak Perempuan Prancis mengatakan Muslimah yang mengenakan penutup kepala sama seperti orang Negro yang mengalami perbudakan. Komentarnya tersebut kontan memicu kemarahan dan tuduhan rasisme.
Dilansir Aljazirah, Laurence Rossignol membuat komentar tersebut dalam wawancaranya dengan radio RMC dan televisi BFM.
Kontan komentarnya langsung memicu reaksi keras di media sosial, Rabu (30/3), mereka menuduh Rossignol rasis. Petisi pun diluncurkan menyerukan menteri itu untuk mengundurkan diri. Hanya beberapa jam setelah diluncurkan, petisi telah mengumpulkan lebih dari 10 ribu tanda tangan.
Rossignol merupakan narasumber dalam program yang membahas mengenai industri fashion Islam. Ia kemudian sempat menyinggung kata-kata negro, tapi kemudian segera mencabut pernyataannya.
Banyak di media sosial menunjukkan bahwa Rossignol sebelumnya mendirikan sebuah koalisi anti-rasis bernama SOS Racisme. Selama ini Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa.
Beberapa undang-undang di Prancis terkait Muslim sangat ketat di benua itu, termasuk penggunaan atribut keagamaan. Penggunaan Jilbab sempat dilarang pada 2011.
Di tempat lain dalam sebuah wawancara, Rossignol juga dikabarkan mengkritik orang-orang yang menciptakan burqini yakni baju renang Muslimah yang dilengkapi penutup kepala. Ia mengatakan hal itu tak bertanggung jawab.
Padahal menurut laporan negara terkait Global Islamic Economy pada 2015-2016, konsumen Muslim menghabiskan sekitar 230 miliar dolar Amerika Serikat untuk pakaian.
Diperkirakan angka tersebut meningkat hingga 320 miliar dolar AS pada 2019. Jumlah tersebut lebih besar dibanding gabungan konsumen pakaian umum dari Inggris (107 miliar), Jerman (99 miliar) dan India (96 miliar).
Awal tahun ini rumah mode Italia Dolce&Gabana bahkan meluncurkan abaya baru dan koleksi jilbab di bawah merek dagangnya. Ini ditujukan untuk merangkul para konsumen Muslimah.