REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tewasnya terduga teroris Siyono menambah daftar panjang jumlah korban jiwa karena kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sudah ada 121 warga tewas akibat dituduh sebagai teroris.
"Mengerikan sekali, ada 121 warga terbunuh sia-sia. Itu angka yang tak pernah mungkin kita bayangkan yang diduga dilakukan petugas negara," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti saat konferensi pers Mencari Keadilan untuk Suratmi di Jakarta, Jumat (1/4). (Kasus Siyono tak Cukup dengan Hanya Pemeriksaan Propam).
Menurut dia, demokrasi hadir sebagai bentuk penolakan terhadap cara semena-mena. Jangan sampai status terduga membuat orang bisa kehilangan nyawa. Kalau tidak dihentikan, pola ini bisa berdampak pada semua orang.
- Ini Jawaban Polri Soal Uang untuk Keluarga Siyono
- Polri: Pemeriksaan Terkait Kasus Kematian Siyono Masih Berjalan
- 'Patung Polisi Saja Berdebu'
Apa yang terjadi pada Siyono dan para terduga teroris lainnya yang kehilangan nyawa merupakan hal memalukan. "Sejarah akan mencatat republik yang katanya reformatif tetap tidak bisa menghargai nyawa anak bangsanya," kata dia. Patut dipertanyakan bagaimana otensitas dan semangat reformasi menjawab banyaknya jumlah terduga teroris yang meregang nyawa. Belum lagi dalam kasus lain di luar terorisme.
- Bukan OTT, Densus 88 Harusnya Tangkap Siyono Pakai Surat
- Penanganan Terorisme Diminta tak Gunakan Cara Kejahatan
Ray menuntut agar Densus 88 sebaiknya dibubarkan. Kepolisian memang membutuhkan kesatuan yang memiliki kemampuan mendeteksi teroris. Namun bukan berarti kesatuan tersebut harus berbentuk badan sendiri.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi dan mereformasikan sistem kepolisian. Saat ini, polisi mengurusi urusan mulai dari administrasi hingga tindak tanduk warga. Padahal, kata dia, polisi cukuplah menjaga ketertiban dan upaya penegakan hukum.