REPUBLIKA.CO.ID, -- Dari sekian persoalan khilafiyah atau diperselisihkan antara ulama, ialah seperti apakah membaca basmalah di sholat-sholat fardhu yang diharuskan mengeraskan bacaannya, antara lain Sholat Maghrib, Isya’, dan Shubuh. Apakah basmalah tersebut dibaca dengan keras pula atau cukup dibaca pelan sebagaimana Sholat Zhuhur dan Ashar?
Imam as-Shanani mengatakan, seperti dinukilkan dari kitab Subul as-Salam, topik ini telah banyak di kupas oleh para ulama klasik dengan berbagai corak, mulai dari fikih hingga hadis. Di antaranya kitab al-Basmalah karya Abu Syamah, al-Khatib al-Baghdadi mengarang kitab al-Jahr bi al-Basmalah yang lantas oleh Imam adz-Dzahabi dibuat ringkasannya (mukhtashar).
Ibn Abd al-Barr menulis kitab al-Inshaf sebagai bentuk konstribusi pemikiran terkait topik ini. Karena itu mestinya, umat saat ini, tak perlu saling menuding dan mengklaim paling benar.
Ada tiga pendapat utama terkait soalan ini. Pendapat yang pertama menyatakan, tidak ada tuntunan untuk membaca basmalah dengan keras di kategori shalat yang dimaksud. Basmalah cukup dibaca dengan pelan. Opsi ini merupakan pendapat empat khalifah, yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abi Thalib. Ini juga pilihan Mazhab Ahmad dan Hanafi serta Ibnu Taimiyah.
Pendapat ini merujuk pada sejumlah dalil antaralain hadis dari Anas bin Malik riwayat Bukhari dan Muslim. Selaku, orang yang sering menemani Rasulullah SAW, Anas belum pernah mendengar Rasul membaca basmalah dengan keras selama sholat. Ini dikuatkan pula dengan riwayat Abdullah bin Mughaffil dari Nasai dan Tirmidzi.
Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan, hendaknya membaca basmalah di kategori sholat tersebut secara keras. Ini adalah pandangan Imam Syafi’i. Rujukan kelompok ini ialah hadis dari Na’im al-Mujammar. Dalam riwayat tersebut Na’im menuturkan, Abu Hurairah membaca basmalah sebelum al-Fatihah.
Imam an-Nawawi mengatakan, pembacaan basmalah secara keras adalah pendapat mayoritas ulama dari sahabat, tabiin, para ahli fikih dan para qari. Dari kalangan sahabat ada nama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.
Sementara, pihak yang ketiga mencoba menggabungkan kedua pendapat di atas. Seseorang leluasa memilih apakah harus mengeraskan bacaan basmalah atau hendak memelankannya. Akan sangat baik bila sesekali dibaca keras dan di lain waktu dibaca pelan. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih dan Ibn Hazm. Senada dengan pihak ketiga yaitu, Qadi Abu at-Thayyib dan Ibn Abu Ya’la.
Menurut Ensklopedi Fatwa Kuwait (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah), selain ketiga pendapat di atas, masih terdapat pendapat yang lain. Mazhab Maliki misalnya. Mazhab yang berafiliasi pada Imam Malik bin Anas tersebut, menilai hukumnya makruh membaca basmalah ketika sholat secara mutlak.
Baik sebelum pembacaan surah al-Fatihah, atau surah berikutnya. Dan apapun cara pembacaannya, secara pelan atau keras, maka makruh. Hanya saja, Imam Qarafi dari Mazhab Maliki lebih memilih membuat pernyataan yang berbeda dari kebanyakan imam di mazhabnya tersebut. Ia menyatakan, sebagai bentuk kehati-hatian dan keluar dari perbedaan, maka tetap membaca basmalah. Cukup pelan saja, tidak perlu keras.