REPUBLIKA.CO.ID, TELUK SUBIC -- Satu kapal selam dan dua kapal destroyer milik Angkatan Laut Jepang akhirnya merapat di Teluk Subic, sekitar 150 km dari Manila, Senin (4/4) waktu setempat. Kehadiran salah satu armada perang Jepang ini sehari menjelang latihan gabungan antara militer Filipina dengan Amerika Serikat, yang rencananya dimulai pada awal pekan ini berlangsung selama 12 hari mendatang di Laut Cina Selatan.
Tidak hanya itu, kehadiran kapal selam dan dua kapal destroyer, JS Ariake dan JS Setogiri, milik Jepang ini pun dianggap sebagai salah satu dukungan yang diberikan Jepang kepada Filipina untuk bisa menjaga stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan. Lokasi Teluk Cubic itu sendiri berada sekitar 200 kilometer dari Laut Cina Selatan.
''Kedatangan kapal-kapal Jepang ini adalah perwujudan upaya mempertahankan perdamaian dan stablitas di kawasan. Selain itu, kedatangan ini adalah bentuk peningkatan kerjasama antara kedua negara,'' kata juru bicara Angkatan Laut Filipina Cmdr. Lued Lincuna seperti dikutip Sputniknews, Senin (4/4).
Pada Februari silam, pemerintah Jepang memang telah mencapai kesepakatan dengan Filipina terkait kerja sama militer. Kerja sama militer itu termasuk penyediaan peralatan perang, seperti kapal selam anti helikopter dan teknologi radar terbaru.
Atas hal ini, pemerintah Filipina pun memperbolehkan armada perang Jepang untuk melakukan patroli di sekitar wilayah Filipina. Termasuk ikut dalam latihan gabungan bersama Amerika Serikat di sekitar Laut Cina Selatan.
Hal ini tidak terlepas dengan sengketa wilayah antara Filipina dengan Cina di sejumlah titik di Laut Cina Selatan, terutama di gugusan karang di Pulau Spratly dan Scarborough.
Sementara pihak Cina mengecam rencana latihan gabungan yang digelar Filipina dan Amerika Serikat di sekitar Laut Cina Selatan. Latihan gabungan itu, menurut pemerintah Cina, justru akan memicu peningkatan ketegangan di Laut Cina Selatan.
Pada 2013 silam, Filipina sempat mengadukan Cina atas sengketa tersebut ke Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS). Namun, Cina menolak kemungkinan pencapaian solusi atas sengketa wilayah tersebut melalui pengadilan internasional.