REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Coruption Watch (ICW) mengapresiasi pemecatan Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam siaran persnya, ICW menyatakan sebagai seorang politisi, Fahri dikenal dengan gaya politik menyerang seseorang atau lembaga yang sering berbeda pendapat atau pandangan dengan yang bersangkutan.
Salah satu yang paling sering menjadi objek Fahri adalah kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fahri dalam berbagai rapat formal di DPR mapun wawancara dengan media kerap kali melemparkan kritikan yang cenderung tendensius kepada KPK.
Berbagai tudingan kepada KPK tersebut seringkali tanpa diikuti dengan data yang relevan. Dia mencontohkan, tudingan KPK sebagai penyebab kekalahan Prabowo dalam Pilpres dan pernah menyebut KPK bersama Pengadilan Tipikor melakukan kongkalingkong atas vonis Luthfi Hasan. Fahri bahkan berulangkali menyampaikan keinginannya untuk membubarkan KPK
"Jika dilacak sejak 2010 yang lalu, setidaknya ada sebanyak 32 kali tudingan dan serangan yang disampaikan oleh Fahri kepada KPK. Entah sengaja atau tidak, Fahri merupakan seorang politisi yang memang selalu paling vocal urusan menyerang KPK dibanding politisi lainnya. Namun kritik kepada KPK ini berbading terbalik dengan sikapnya kepada Kepolisian dan Kejaksaan yang cenderung lunak," tulis ICW.
Padahal, lanjut ICW, permasalahan Polri dan Kejakgung justru lebih komplek dibanding dengan KPK. Karena itu, atas putusan ini, ICW menyebut, Koalisi Masyarakat Sipil mendukung keputusan Pimpinan PKS yang memberhentikan yang bersangkutan dalam seluruh jenjang keanggotaan PKS.
Keputusan ini layak diapresiasi karena bagian dari peran dan tanggungjawab partai dalam mengontrol anggotanya di DPR agar tetap sejalan dengan komitmen Partai dalam jalur mewujudkan negara yang bersih dari KKN. Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Muhammadiyah, ICW, IPC, Perludem dan Kode Inisiatif.
ICW mengungkapkan secara yuridis, partai memiliki hak untuk memberhentikan yang bersangkutan mengacu pada pasal 239 Ayat 2 UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Proses ini pun legal dan konstitusional secara hukum. Apalagi partai sudah melakukan mekanisme koreksi secara internal yang diatur dalam AD/ART dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memperbaiki tindakan dan membela diri dari proses pemeriksaan internal.
Sikap PKS penting diikuti oleh partai-partai lain dalam menjawab berbagai macam kritikan publik atas lemahkan komitmen partai dalam pemberantasan korupsi. Pemberhentian Fahri disebut menjadi momentum bagi partai untuk melakukan pencegahan (prevention) secara organisasi sebelum kader-kader mereka justru berurusan dengan hukum karena melakukan korupsi.