REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK akan mempelajari Dokumen Panama atau "Panama Papers" yang di dalamnya berisi perseorangan dan perusahaan yang terindikasi berasal dari Indonesia.
"KPK mempelajari nama-nama yang ada di dokumen itu," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (6/4).
Syarif mengakui bahwa simpanan offshore merupakan salah satu kendala yang dihadapi penegak hukum tidak hanya di Indonesia, namun juga di luar negeri. Jika "Panama Papers" dijadikan barang bukti, maka harus melalui kerja sama dengan aparat penegak hukum luar negeri.
"Bisa dilakukan secara 'agency to agency', bilateral, maupun multilateral," ucap Syarif.
Sebelumnya, beredar hasil laporan investigasi mengenai firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca yang di dalamnya terdapat dokumen berisi data perusahaan bayangan di yurisdiksi bebas pajak (offshore) yang dimanfaatkan untuk menghindari pajak.
Isi dokumen itu mengungkapkan bagaimana jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kepala negara, agen rahasia, pesohor, sampai buronan disembunyikan di negara bebas pajak. Terdapat lebih dari 2.000 nama perseorangan dan perusahaan di Indonesia yang terindikasi ada di dokumen tersebut.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menilai aset para wajib pajak di luar negeri, bukan berasal dari laporan investigasi mengenai firma hukum di Panama. Bambang menjelaskan data milik DJP berasal dari data resmi otoritas pajak dari negara-negara G20, namun tidak menutup kemungkinan pemerintah menggunakan informasi dari Panama Papers sebagai data pembanding.
Sementara itu, Direktur Pelayanan dan Penyuluhan Humas Direktorat Jenderal Pajak, Mekar Satria Utama menambahkan informasi dari Panama Papers bisa menjadi data tambahan untuk menggali potensi pajak baru, apabila data yang ditawarkan benar-benar terjamin validitasnya.
Mekar memastikan dalam proses penyidikan pajak, DJP tidak hanya mengandalkan data, namun juga konfirmasi kepada wajib pajak terkait aset yang dimiliki agar bisa mendapatkan keterangan yang lebih akurat. "Kalau ada data yang kami ketahui, misal, perusahaan X mengadakan transaksi di luar negeri, yang mengindikasikan ada penghasilan atau keuntungan dari penjualan saham, selalu kami konfirmasi dengan wajib pajak bersangkutan," kata dia.
Namun, apabila dalam proses klarifikasi, wajib pajak tidak bisa memberikan keterangan dengan lebih jelas, dan tidak ingin membetulkan data dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, maka selanjutnya dilakukan tahapan pemeriksaan.