REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bocornya dokumen Panama Papers cukup mengguncang banyak negara. Firma hukum Mossack Fonseca sebagai pemilik data, mengakui kebocoran ini karena diretas sehingga 140 dokumen dari total 11,5 juta dokumen yang ada, muncul di publik.
Bagi Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy, di luar tuduhan Panama Papers sebagai penghindar pajak, terbongkarnya dokumen ini bisa dilihat dari sisi konspirasi ekonomi dunia. Panama tempat dimana Mossack Fonseca berdomisili berada di bawah proteksi Amerika Serikat (AS).
Maka peretasan dokumen Panama Papers ini tidak bisa dianggap sebagai kebocoran biasa. "Ini bagian dari perang ekonomi global, dimana AS menghadapi Vladimir Putin, Russia dan para pendukungnya," kata dia kepada Republika, Rabu (6/4).
Ia mencontohkan dulu AS pernah meminta Bank UBS Swiss meminta nama-nama orang AS yang menghindar pajak dengan melarikan uangnya ke Swiss. Tapi Menteri Keuangan Swiss saat itu menolaknya sampai sekarang, karena Swiss merupakan negara yang tidak dalam perlindungan AS dalam hal keuangan.
Bila dikaitkan dengan kekuasaan AS di Panama, menurut Ichsanuddin, wajar bila terbongkar dokumen Panama ini bisa dilihat dalam rangka kepentingan AS membuka siapa sebenar musuhnya. Kajian konspirasi tersebut, ungkapnya, bisa dikaitkan dengan musuh bebuyutan AS, Rusia.
"Karena kebocoran Panama Papers bertujuan membuka orang orang yang memang dekat dengan Putin, dilihat dari jaringan bisnis dan aspek kekayaan. Bukti ini juga dapat dilihat dari nama yang muncul tidak ada nama yang terkait pemimpin AS," tutur Ichsanuddin.
Lebih lanjut ia menyebutkan, terkuaknya daftar nama di Panama Papers ini memperlihatkan bagaimana AS ingin memukul Rusia lebih kuat. "Dulu AS memukul Rusia melalui pembatasan sumber migasnya, kemudian nilai tukar dan suku bunga yang mempengaruhi inflasi parah Rusia, namun semua itu gagal," ungkapnya.