REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bocornya data Panama Papers menjadi kesempatan baik Indonesia untuk menuntaskan Undang-Undang (UU) Tax Amnesty atau UU Pengampunan Pajak.
Menurut Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno momentum Panama Papers menjadi kesempatan pemerintah untuk mendorong para wajib pajak memanfaatkan tax amnesty.
Data Panama Papers membuka sebagian data wajib pajak dan teridentifikasi melakukan kegiatan usaha menggunakan special purpose vehicle (SPV) asing. Panama Papers dapat mendorong atau akselerator pelaporan pajak dari wajib pajak indonesia, berhubung identitas sudah terungkap.
“Asumsinya dana juga mengendap di luar negeri, sehingga tinggal dicek kebenarannya,” kata Eddy di Jakarta, Rabu (6/4).
Mantan investment banker di beberapa bank intenasional ini mengatakan biasanya SPV digunakan untuk memanfaatkan tax treaty atau perjanjian perpajakan antara Indonesia dengan negara-negara asing.
Usia SPV bisa bertahun-tahun dan tidak ada masa kedaluwarsa. Eddy mengetahui hal tersebut karena pernah bekerja sekitar 20 tahun di sejumlah bank dan perusahaan keuangan dunia. Misalnya di Jardine Fleming & Co Ltd, American Express, Credit Lyonnais, ABN Amro, HSBC, dan Merrill Lynch.
Karena profesi tersebut, tak jarang dia bersentuhan dan berhubungan dengan aktivitas transaksi yang melibatkan SPV. Penggunaan SPV di luar negeri terutama di negara-negara surga pajak (tax haven) memang meringankan dari sisi perpajakan.
Namun dia menandaskan bahwa pendirian SPV tidak serta merta ditujukan untuk tujuan penggelapan pajak. “Jika penggunaan SPV dibarengi dengan tax planning, beban pajak bisa berkurang dari 20% menjadi 10% atau bahkan 0 persen," ujar dia.
Karenanya Panama Papers bukan sekadar "membuka tabir" atas individu atau perseroan yang melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan SPV asing.
Namun juga membuka informasi substansial terkait jenis usaha, transaksi, dana yang dinikmati atau digunakan untuk transaksi maupun usaha atau pajak yang dielakkan melalui pemakaian SPV tersebut.