REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Terorisme dari Certified International Investment Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya tokoh senior di Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan The Moro National Liberation Front (MNLF) diminta membantu membantu pendekatan kepada jaringan Abu Sayyaf. Hal tersebut perlu dilakukan untuk membebaskan sepuluh Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang disandera kelompok Abu Sayyaf.
" Bisa saja meminta bantuan kepada simpul-simpul kelompok yang berpengaruh di Mindanau Selatan MILF dan MNLF. Tokoh-tokoh seniornya diminta juga untuk bernegosiasi, karena mereka pernah berhutang budi kepada Indonesia pada tahun 1996 dengan adanya perjanjian pemerintah Filipina dan pemerintah Mindanau Selatan," kata dia, Sabtu (9/4).
Harist menuturkan perjanjian tersebut dinamakan Final Peace Agreement (FPA) pada tahun 1996. Hal itu dapat digunakan pemerintah Indonesia untuk mendorong tokoh senior MILF dan MNLF agar dapat bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf.
Kemudian kemampuan negosiator sangat diperlukan, baik dari Indonesia maupun Filipina untuk terus mengulur waktu. Hal tersebut dilakukan agar dapat meyakinkan penyandera dan bisa membawa pulang sandera dengan selamat tanpa uang tebusan.
Harist menerangkan memang ini bukan pekerjaan mudah, karena yang disandera bukan hanya orang Indonesia. Namun ada juga warga negara Malaysia dan Eropa. Kata dia kemungkinan mereka dapat disandera sampai tiga atau enam bulan.
"Intinya jika pemerintah bisa membawa mereka pulang lebih cepat maka lebih baik. Karena secara psikologis atau psikis sandera mengalami depresi dan kehilangan harapan, jika mereka ada di tangan penyandera terlalu lama," terang dia.
Dia mendorong pemerintah agar bisa membuka semua kemungkinan untuk keselamatan sepuluh WNI yang disandera. Sebelumnya sejumlah laporan menyebutkan para penculik meminta uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 15 miliar, dengan batas waktu Jumat 8 April 2016.