REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari sedikit ilmu yang diberikan Allah SWT kepada makhluk-Nya masih lebih banyak yang tidak ketahui dari pada yang diketahui, termasuk pengetahuan tentang Alquran. Karena itu, umat Islam harus terus mengaji Alquran, bukan mengkaji.
Menurut budayawan Muhammad Ainun Najib atau Cak Nun terdapat perbedaan antara ‘mengaji’ dan ‘mengkaji’. Kalau mengkaji, kata dia, pasti bersifat intelektual-akademis, sedangkan mengaji golnya adalah martabat dan ilmu yang manfaat secara batin.
“Jadi, kalau sama Alquran tolong 90 persen itu mengaji, 10 persen mengkaji. Jadi, saya ketemu Anda ini 90 persen mengaji, dan golnya adalah saya mencari manfaat sebanyak-banyaknya,” kata Cak Nun dalam Maiyahan Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (9/4).
Menurut istilah Sabrang (anak Cak Nun), kata Cak Nun, ada dua pendekatan dalam hal ini yaitu istilah ‘belajar dari’ dan ‘mempelajari’. Cak Nun menjelaskan, ‘belajar dari’ harus lebih banyak dari ‘mempelajari’ karena jika ingin mempelajari Alquran dengan benar pasti tidak akan mampu. “Mempelajari diri Anda sendiri saja, Anda tidak akan sampai,” ujar kiai kelahiran 27 Mei 1953 terebut.
Cak Nun mengatakan bahwa untuk menafsirkan Alquran membutuhkan persyaratan ilmiah dan akademis yang sangat berat. Karena, lanjut dia, seorang penafsir harus terlebih dulu menguasai bahasa Arab, sejarah sastra Arab, asbabu nuzul, kata per kata, dan lain-lain, “Jadi, jangan mempelajari Alquran, tapi harus belajar dari Alquran, itu bedanya tafsir dan tadabbur,” jelas dia.
Selama melakukan pencarian di dalam Alquran, ia juga tidak pernah menemukan sebuah saran agar umat Islam menafsirkan kitab tersebut, Lanjut dia, jika pun Islam mengajarkan agar setiap umat menjadi ahli tafsir, maka pasti akan putus asa. “Anda tidak perlu menafsirkan menurut saya, Anda cukup mendapatkan manfaat apa tidak dari yang Anda hadapi,” kata Cak Nun.