Ahad 10 Apr 2016 17:40 WIB

KAMMI Tuding Pemerintah Lakukan Kapitalisme Terselubung

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Achmad Syalaby
 Anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12).  (Antara/Sigid Kurniawan)
Anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12). (Antara/Sigid Kurniawan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi XI. Alih-alih memperbaiki perekonomian saat ini, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) memandang justru ada bentuk kapitalisme terselubung dalam paket kebijakan tersebut.

Berkedok peningkatan kualitas daya saing dan perlindungan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK), pemerintah sebenarnya  dinilai malah membungkus kapitalisme dengan wajah baru. 

"Dengan dalih mengembangkan potensi geopolitik dan geo-ekonomi nasional yang antara lain dilakukan dengan mendorong UMKMK dan perusahaan nasional meningkatkan kreativitas, sinergitas, inovasi, dan kemampuan menyerap teknologi baru dalam era keterbukaan, pemerintah sudah memilih kata yang indah namun isinya anomali,” kata Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, Aza El Munadiyan, lewat siaran pers kepada Republika.co.id belum lama ini.

Salah satu contoh liberalisasi ekonomi itu adalah penanaman modal asing (PMA) dalam industri bahan baku obat. Padahal, menurut dia komposisi PMA dalam industri obat sudah mencapai 85 persen. Saat ini, kata Aza, dunia farmasi Indonesia telah mampu memproduksi 90 persen obat di dalam negeri. 

Ironisnya, dia menjelaskan, sebanyak 96 persen bahan bakunya masih impor, yaitu bahan baku obat aktif maupun eksipien. Akibatnya, fluktuasi harga obat tinggi, ketergantungan terhadap negara lain sebagai produsen juga tinggi, sementara ketersediaan obat di Indonesia minim.

Aza menuturkan, Data Business Monitoring International terbaru terkait pangsa pasar obat di Indonesia sangat menggiurkan. Market value untuk bahan baku obat mencapai 30 persen. Menghadapi realitas ragam dan jumlah yang besar dari penyakit rakyat Indonesia serta ketersediaan obat, pemerintah mencanangkan kemandirian obat. Namun, permasalahan dalam upaya mencapai kemandirian obat sebenarnya adalah biaya investasi dengan biaya terbesar dialokasikan pada riset. 

Sementara itu, riset pengembangan bahan baku obat memerlukan jalur yang panjang, mulai  uji pre klinik (aktivitas farmakologi, toksikologi in vivo dan in vitro), kemudian setelah terbukti berkhasiat dan aman masih melalui tahan uji klinik pada subjek manusia dalam lima fase studi klinik. 

"Tidak seperti kebanyakan industri lain, biaya riset di bidang obat lebih mahal berlipat-lipat dan memakan waktu lama. Padahal, penyakit terus bermutasi dan berevolusi, sehingga riset harus terus berlangsung selama penyakit ada,” kata Aza.

Dia mencontohkan, dulu saat BJ Habibie menjadi menteri juga pernah mendorong kemandiran obat, namun baru terealisasi pada 1998. Kebijakan itu pun tidak maksimal lantaran baru krisis moneter hadir saat upaya kemandirian obat baru mulai melangkah.

Usaha itu terhenti dan kurang berhasil karena jumlah anggaran minim. Indonesia kaya akan sumber daya hayati tanaman, mikroorganisme, dan biota laut. Keragaman bahan kimia Indonesia sangat potensial untuk pengembangan bahan baku obat.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement