Ahad 10 Apr 2016 23:44 WIB

Eksekusi Jalan Tol JORR Seksi S Dinilai Janggal

Pembangunan jalan tol (ilustrasi).
Foto: Antara
Pembangunan jalan tol (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Pengelolaan jalan tol Jakarta Outer ring Road (JORR) seksi S masih menjadi polemik. Para pakar hukum menilai janggal pelaksanaan eksekusi yang kedua kalinya terhadap jalan tol JORR Seksi S yang dilakukan Kejaksaan Agung pada 16 Maret 2016. Apalagi, eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa Agung berbeda dengan pelaksanaan eksekusi pertama yang dilakukan oleh jaksa eksekutor pada tahun 2013.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin Profesor Aminuddin Ilmar menyatakan, eksekusi yang dilakukan oleh jaksa harus mengikuti amar putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap. Menurut Aminuddin, pelaksanaan eksekusi tidak boleh mengurangi atau melebihi isi amar putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan eksekusi jalan tol yang biasa disebut sebagai jalan tol TB Simatupang Jakarta, Aminuddin mempertanyakan dasar pelaksanaan eksekusi sampai dua kali. 

“Apa dasar Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi yang kedua kali? Apakah berkaitan dengan utusan Mahkamah Agung (MA)? Eksekusi harus mengikuti amar putusan hakim. Jika mengacu pada amar putusan dapat dengan mudah melihat apakah eksekusi pertama mengikuti amar putusan ataukah eksekusi kedua yang mengikuti amar putusan MA?” kata Aminuddin, di Jakarta, Ahad (10/4).

Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga menilai janggal eksekusi dengan satu putusan, namun dilakukan dengan dua kali eksekusi. “Seharusnya dilakukan satu kali saja. Ini memang terlihat janggal, tapi bisa saja eksekusi kedua itu untuk menyempurnakan putusan pertama. Tapi, tetap saja janggal, karena itu hal ini harus dipelajari dahulu,” katanya.

Kasus ini terjadi sejak 1998 saat Jasa Marga mengambil alih aset tersebut yang sebelumnya merupakan barang sitaan negara atas ketidakmampuan oknum melunasi utang untuk pembangunan jalan tol kepada BNI. Pada 1995, PT Marga Nurindo Bhakti mengambil kredit dari BNI senilai Rp 2,5 triliun. Kredit tersebut pada mulanya ditujukan untuk pembangunan jalan tol JORR seksi S. Namun, setelah diaudit, dana pinjaman yang dipakai untuk pembangunan tol hanya Rp 1 triliun. Hingga saat ini belum diketahui sisa dana pinjaman tersebut dialirkan ke mana.

Pada periode 1994-1998, secara bertahap Direktur PT Marga Nurindo Bhakti, Joko Ramiadji bekerja sama dengan PT Hutama Karya, menerbitkan commercial paper (CP) senilai Rp 1,2 triliun. Ternyata CP yang diterbitkan palsu dan PT Hutama Karya adalah oknum yang dirugikan dalam hal ini. Namun, berdasarkan audit dana pembangunan tol bukan berasal dari CP palsu ini.

Ketidakmampuan PT Marga Nurindo Bhakti (MNB) dalam mengembalikan pinjaman, menyebabkan tol disita dan proyek diambil alih oleh Badan penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BBPN mengembalikan proyek tersebut kepada negara, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Jasa Marga pada tahun 1998.

Pada 11 Oktober 2001, Mahkamah Agung dalam putusannya bahwa hak pengelolaan JORR S diberikan pada PT Hutama Karya, namun 15 September 2011, fatwa MA Nomor .39/KM/Pidsus/HK.04/IX/2001 memerintahkan JORR S harus diserahkan kepada PT MNB.

Pada 6 Februari 2013, Kejagung menyerahkan pengelolaan JORR S kepada PT MNB dan Hutama Karya, selanjutnya pada 16 Maret 2016, Kejagung melakukan tindakan yang berbeda dengan menyerahkan kepada Hutama Karya, sehingga terjadi kerancuan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement