REPUBLIKA.CO.ID, NEW SOUTH WALES -- Persaingan global memakan korban di Australia, dengan pabrik terakhir yang memproduksi lemari es di kota Orange, New South Wales menghentikan produksinya Senin (11/4) setelah memproduksi sekitar 12 juta lemari es sejak 1942.
Di 2013, Electrolux sudah mengumumkan akan menutup pabrik pembuat lemari es di Orange ini dan memindahkan produksinya ke luar Australia. Perusahaan itu mengatakan ongkos produksi di Asia Tenggara dan di Eropa Timur lebih rendah dibandingkan di Australia.
Manajer umum Electrolux Mark O'Kane mengatakan penutupan tersebut tidak saja merupakan pukulan berat bagi Orange, sebuah kota yang terletak sekitar 254 km dari Sydney, namun juga menunjukkan perusahaan manufaktur Australia tidak mampu bersaing secara global.
Penutupan ini juga berarti berakhirnya produksi barang-barang elektronik selama 70 tahun terakhir di kota Orange. Dari sekitar 300 pekerja di pabrik tersebut, 210 diantara mereka tidak akan lagi bekerja mulai besok, sementara 90 lainnya akan tetap bekerja selama delapan bulan ke depan untuk menyelesaikan proses penutupan pabrik tersebut.
Pabrik Electrolux di Orange ini dimulai di 1942 berawal dari perusahaan yang membuat amunisi senjata untuk Perang Dunia kedua. Ketika perang berakhir di 1946, fasilitas yang ada digunakan untuk memproduksi kipas angin, mesin cuci, kompor dan lemari pendingin. Namun belakangan ini hanya memproduksi lemari es saja.
Di masa jayanya, perusahaan tersebut pernah mempekerjakan sekitar 2.000 orang dan pernah dikunjungi oleh Ratu Elizabeth pada 1970. Sumbangan pabrik tersebut bagi perekonomian lokal Orange diperkirakan sekitar Rp 700 miliar per tahun.
Mark O'Kane mengatakan yang lebih memprihatinkan adalah penutupan tersebut menunjukkan ketidakmampuan Australia bersaing secara global di bidang manufaktur. "Semua perusahaan manufaktur di dunia sekarang memiliki pabrik produksi di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Thailand," kata O'Kane.
"Mereka mendapat dukungan dar pemerintah, memiliki kawasan perdagangan bebas di dalam zona industri mereka, dan tentu saja biaya produksi rendah, dengan pekerja dibayar sekitar Rp 25 ribu) per jam. Kita tidak mampu bersaing dengan mereka, dan saya mengkhawatirkan masa depan manufaktur Australia," tambah O'Kane.
Baca: Koalisi Arab Hormati Gencatan Senjata Yaman