REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengapresiasi niat baik pemerintah melindungi harga di tingkat petani dengan pemanfaatan teknologi berbasis aplikasi seluler. Langkah tersebut baik, tetapi diprediksi tak membumi di kalangan petani kecil menengah.
"Harus diperhatikan kapasitas petani memanfaatkannya, sebab sebagian besar petani tidak memiliki kapasitas mengaksesnya," kata dia, Senin (11/4). Menurut dia, harus dipertimbangkan seberapa memadai pengetahuan petani untuk menggunakan aplikasi berbasis jaringan internet.
Dia menyatakan 99,9 persen petani nasional berusia di atas 45 tahun dan rendah kemampuannya dalam mengakses teknologi aplikasi. Ia tidak membicarakan petani mapan ataupun pengusaha tani skala besar yang berpotensi memanfaatkan aplikasi tersebut secara maksimal.
Menurut dia, kapasitas ekonomi petani yang masih rendah sementara aplikasi membutuhkan pulsa, signal bagus meski di pegunungan serta kepemilikan android. Berdasarkan pengalamannya di asosiasi tani, hanya 20 persen pengurus yang aktif berbagi informasi via grup Whatsapp.
Padahal, kata dia, mereka pengurus yang tergolong petani mapan. "Jangan sampai program yang didesain bagus ini tidak praktis sama sekali dan tidak terakses petani," ujarnya.
Ia pun mengusulkan langkah penjagaan harga di tingkat petani dilakukan dengan hal-hal yang lebih rill. Misalnya, pemerintah mengalihkan subsidi pertanian ke bidang subsidi output.
Pemerintah membeli produk pertanian langsung ke petani dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga pasar. Hal tersebut jauh akan lebih terasa manfaatnya bagi petani kecil.
Penyodoran teknologi aplikasi malah mengesankan pemerintah angkat tangan dan menyodorkan pasar tani ke pasar digital. "Jangan membayangkan petani kecil itu lulusan sarjana, punya akses internet saja belum tentu," tuturnya.
Baca juga: Efektivitas Aplikasi Pertanian Diragukan