REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan perlunya evaluasi kinerja negara terkait dengan pemberantasan terorisme setelah adanya kasus dugaan kekerasan dan pelanggaran HAM kepada terduga teroris Siyono.
"Perlu ada evaluasi kerja negara, karena kerjanya pakai uang negara. Densus 88, BNPT, dan juga bantuan asing (Inggris, Amerika Serikat, Spanyol, Australia, dan lain-lain) pada polisi juga harus diperiksa," kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam konferensi pers pemaparan hasil pemeriksaan peristiwa kematian Siyono di Ruang Pengaduan Komnas HAM di Jakarta, Senin (11/4).
Menurut dia, pemaparan hasil autopsi membawa pesan penting bahwa memberantas terorisme harus profesional dan bermartabat."Kenapa terorisme masih ada, karena penegakan hukumnya amburadul. Komnas HAM melakukan suatu tidakan forensik dan profesional yang mudah-mudahan bisa jadi cermin, bahwa setelah ini harus ada evaluasi," kata Haris.
Dia menjelaskan, hasil autopsi dapat digunakan oleh Komnas HAM dan ormas-ormas lain untuk menuntut agar kebenaran kasus Siyono diungkap dan segala akibat buruk harus ada kompensasinya. PP Muhammadiyah, tim dokter forensik dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia cabang Jawa Tengah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memaparkan hasil autopsi jasad terduga teroris Siyono.
Terdapat empat poin yang diperoleh dari hasil autopsi, pertama, tidak benar bahwa telah dilakukan autopsi sebelumnya terhadap jenazah Siyono. Kedua, tidak benar ada indikasi kematian oleh pendarahan yang hebat di kepala. Ketiga, penyebab kematian Siyono karena patah tulang dada yang mengenai jantung.Keempat, tim dokter forensik tidak menemukan adanya indikasi perlawanan korban dari tidak adanya luka tangkis.