Selasa 12 Apr 2016 08:44 WIB

Presiden Jokowi Diminta Cabut Izin Reklamasi Pantai Jakarta

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan
Foto udara pembangunan reklamasi pulau C dan D di Pantai Indah Kapuk, Jakarta, Rabu (6/4).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Foto udara pembangunan reklamasi pulau C dan D di Pantai Indah Kapuk, Jakarta, Rabu (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Izin pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta banyak menuai kritik maupun gugatan. Sesungguhnya, baik pengembang maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta paham bahwa Surat Keputusan (SK) Gubernur  yang diterbitkan adalah lemah dan cacat hukum.

"Harus memenuhi prosedur dan aturan lain yang salah satunya adalah dengan menerbitkan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K). Sementara untuk menerbitkan perda mesti melibatkan pihak legislatif (DPRD DKI Jakarta) untuk dibahas dan disahkan," jelas pengamat lingkungan perkotaan Ubaidillah.

Dia menduga skandal kejahatan reklamasi ini telah melibatkan unsur eksekutif dan legislatif serta swasta pengusaha pengembang reklamasi.

Untuk itu, sudah semestinya pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) agar menggunakan kewewenanganya bersikap tegas, mengevaluasi, memberi sanksi administeratif dan mencabut izin proyek reklamasi.

Hal ini sesuai Undang-Undang Momor 32 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup (UU Nomor 32/2009). "Mencabut izin reklamasi sangat mendesak dan memungkinkan mengingat ibukota Jakarta sudah masuk dalam keadaan darurat ekologi kota," kata dia.

Menurut Ubaidillah, proyek reklamasi selain kental bernuansa korupsi dan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga berdampak bencana terhadap lingkungan hidup dan kemanusiaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement