REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Tito Karnavian ikut bersuara terkait hasil autopsi Muhammadiyah terhadap jenazah terduga teroris Siyono. Tito mengatakan, autopsi tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi dalam suatu peristiwa.
"Autopsi hanya menjelaskan bahwa terjadi kekerasan, sebab mati karena apa," ujar Tito, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/4). Temuan sementara terkait kematian Siyono, kata Tito, diakibatkan benturan karena kekerasan fisik oleh anggota densus dengan tangan kosong. Namun, hal tersebut terjadi karena posisi membela diri.
Sebelumnya, Muhammadiyah dan Komnas HAM mengumumkan hasil autopsi terjadap jenazah Siyono. Hasilnya, Siyono tewas karena tulang di dada patah hingga menembus jantung. Selain itu, mereka mengklaim Siyono tidak melakukan perlawanan.
Sebagai mantan kepala Densus 88, Tito menuturkan bagaimana anggota densus harus terus diingatkan terkait SOP. Hal itu menjadi tanggung jawab moral dan strategi dalam memberantas terorisme.
Mantan kapolda Metro Jaya itu menambahkan, terkait temuan Propam yang mengakui ada kesalahan prosedur dari anggota densus, itu bukan termasuk tindak kriminal. Kesalahan prosedur di antaranya tidak diborgolnya Siyono.
Kendati demikian, cara dengan tidak diborgol, diakui Tito, merupakan salah satu cara menarik hati orang yang sedang diinterogasi. Hal itu juga pernah dilakukan Tito sejak tahun 1999. "Tapi beberapa kali miss hitungannya, dia lebih kooperatif dan nyaman. Faktanya, dia punya kesempatan melarikan diri," ucapnya.
Dalam catatan densus, Tito menegaskan, nama Siyono memang terlibat jaringan terorisme. Sekitar 13 orang menyebut namanya termasuk pemegang senjata.