REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pimpinan KPK menegaskan bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap jaksa di lingkungan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) sudah sesuai prosedur meski sempat dikritik Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) R. Widyo Pramono.
"Tidak ada terjadi kesalahan prosedur karena tim yang pergi menunjukkan surat perintah tugas dan melaksanakan ketentuan KUHAP dan SOP (Standard Operating Procedure) dalam menjalankan tugas kemarin," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Pada Senin (11/4), Jamwas R Widyo Pramono mengkritik OTT KPK karena dinilai tidak menunjukkan surat perintah penggeledahan dan surat perintah penyitaan.
Widyo mengingatkan bahwa kepada penegak hukum, termasuk KPK saat menangani perkara yang melibatkan penegak hukum lain dalam hal ini jaksa harus mengacu kepada pasal 8 ayat 5 UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan yang intinya jaksa dalam melaksanakan tugas diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa, hanya dapat dilakukan oleh ijin Jaksa Agung.
OTT tersebut dilakukan KPK terhadap jaksa Kejati Jabar Deviyanti Rochaeni yang diduga menerima uang sebesar Rp 528 juta dari Bupati Subang Ojang Sohandi, mantan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Subang Jajang Abdul Kholik dan istri Jajang Lenih Marliani.
Pemberian itu juga ikut diatur oleh Ketua Jaksa Penuntut Umum kasus dugaan korupsi BPJS Subang tahun 2014 Fahri Nurmallo yang pernah bertugas di Kejati Jabar namun sudah dipindahkan ke Jawa Tengah.
"Sebenarnya tidak ada penggeledahan karena saat ditanya DVR (Deviyanti Rochaeni) secara sukarela menyerahkan uang. Petugas KPK hanya menanyakan uang yang diberikan saudari LM (Lenih Marliani) kepada dia tapi dia memberikan uang-uang lain yang di dalam situ," ungkap Syarif.
Uang tersebut menurut Syarif bukanlah jumlah uang pengganti dalam kasus korupsi BPJS kabupaten Subang yang total merugikan keuangan negara senilai Rp4,7 miliar dengan Jajang dan mantan Kepala Dinas Kesehatan Subang Budi santoso sebagai terdakwa.
"Jadi kalau uang itu bagian uang pengganti juga salah karena uang pengganti hanya Rp168 juta, dan (jumlah uang) itu berlebih dan itu diberikan secara sukarela. Ada videonya saat petugas KPK bekerja profesional dan menjadi alat kontrol kami di lapangan," tambah Syarif.
Apalagi menurut Syarif, UU KPK No 30 tahun 2002 tentang KPK bersifat lex specialis.
"Kalau harus izin Jaksa Agung sesuai UU Kejaksaan, KPK bergerak seseuai dengan UU KPK dan UU KPK tidak perlu mendapat izin Kejaksaan Agung dan kami menjalankan itu sebagai 'lex spesialis'. Pada saat yang sama Pak Ketua juga menelepon Jaksa Agung, saya berkomunikasi dengan Jamwas, ditambah Komite Kejaksaan (Komjak) melakukan klarifikasi ke sini dan bertemu kami bertiga," jelas Syarif.
Dalam perkara ini, Lenih Marliani, Jajang Abdul Kholik dan Ojang Sohandi sebagai tersangka pemberi suap kepada jaksa dan menyangkakan ketiganya melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1.
Pasal tersebut mengatur mengenai perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Ojang juga masih disangkakan pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena saat penangkapan KPK menemukan uang sebesar Rp385 juta.
Pasal tersebut mengatur tentang penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara yang nilainya lebih dari Rp10 juta atau lebih pembuktiannya harus dilakukan oleh penerima gratifikasi dengan ancaman penjara maksimal seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan denda Rp1 miliar.