REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih meneliti implementasi komitmen Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Kendati demikian, dalam Surat Keterangan Bernomor 184/K/X/2015 perihal Tanggapan KPPU terhadap IPOP dinyatakan bahwa IPOP berpotensi menjadi sarana kartel yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU meminta supaya kesepakatan IPOP sebaiknya tidak diimplementasikan.
Terbitnya surat tersebut sebagai jawaban dari surat yang dikirimkan Ibrahim Senen selaku Konsultan Hukum Kadin bernomor DNC/104-607-615/IX/ 15/431 Perihal Permohonan Kajian dan Analisa terkait IPOP.
Menanggapi pernyataan adanya potensi kartel yang dilakukan IPOP, Ibrahim Senen selaku tim legal IPOP mengatakan, IPOP tidak melanggar ketentuan KPPU karena IPOP bukan market leader yang mengontrol pasar, bukan penentu harga, tidak memonopoli pemasaran barang, dan tidak dalam posisi dominan menciptakan barrier perdagangan sawit.
Kendati demikian, anggota IPOP dan sekretariat IPOP menghargai surat dari KPPU yang merekomendasikan langkah-langkah selanjutnya untuk mencegah IPOP menjadi kartel. “Tidak ada yang dilanggar di sini (dalam peraturan KPPU). IPOP selalu berupaya patuh dengan peraturan yang ada. Justru karena itulah IPOP memiliki inisiatif untuk berkonsultasi dengan KPPU sejak awal kesepakatan ini dibuat,” kata Ibrahim melalui rilis yang diterima Republika, Selasa (12/4).
Dia melanjutkan, IPOP berharap semua pihak dapat melihat masalah ini dengan perspektif yang benar. Alasannya, hal tersebut akan berdampak pada jalannya implementasi program IPOP yang akan menitikberatkan pada pemberdayaan petani kecil sawit.
Menurut Ibrahim, anggota IPOP sejauh ini telah mengambil langkah-langkah proaktif untuk berkonsultasi dengan KPPU terkait komitmen tersebut dan implementasinya sejak Juni 2015. Pada periode antara Juli dan Oktober 2015, KPPU melakukan assessment formal atas komitmen bersama tersebut. IPOP dan anggotanya sangat menghormati rekomendasi-rekomendasi KPPU dan siap bekerja sama dengan pemerintah.
Ibrahim juga menyebutkan, anggapan bahwa anggota IPOP menguasai 70 persen produksi CPO di dalam negeri sesungguhnya kurang tepat. Menurutnya, data Kementerian Pertanian tahun 2013 menyebutkan, total produksi CPO yang dihasilkan swasta hanya sebesar 54 persen.
Data menunjukkan, petani kecil yang memiliki luas lahan dua hektare, menguasai produksi CPO sebesar 35 persen, sisanya 65 persen dikuasai oleh BUMN dan swasta. Dari 65 persen tersebut, swasta menguasai 54 persen dan sisanya sebanyak 11 persen dikuasai BUMN. “Jadi, tidak benar kalau anggota IPOP menguasai 70 persen produksi CPO nasional,” katanya.