Rabu 13 Apr 2016 08:00 WIB

'Semua Personil yang Terlibat dalam Kematian Siyono Bisa Dipidana'

Rep: Puti Almas/ Red: Bilal Ramadhan
Pengangkatan jenazah Siyono
Foto: dok. Istimewa
Pengangkatan jenazah Siyono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama dengan PP Muhammadiyah, dan persatuan Dokter Forensik Indonesia melakukan autopsi terhadap Siyono (34), terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah yang tewas dalam proses penangkapan.

Dari hasil autopsi tersebut, terungkap sejumlah fakta yang bertentangan dengan hal-hal yang sebelumnya diungkapkan oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Di antaranya adalah tak ada tanda-tanda bahwa Siyono melakukan perlawanan kepada aparat yang bertugas melakukan penangkapan.

Selain itu, kematiannya terlihat disebabkan oleh benda tumpul di bagian rongga dada, yang menyebabkan tulang patah ke arah jantung. Belum lagi, temuan yang paling mengejutkan adalah bahwa jasad terduga teroris tersebut belum pernah diautopsi, seperti yang dikatakan telah dilakukan oleh Polri.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir mengatakan hal itu merupakan bukti kuat bahwa Siyono merupakan korban dari tindakan sewenang-wenang aparat, yaitu Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88).

Karena itu, sebagai institusi penegak hukum, Polri hendaknya tetap bersikap adil, yakni dengan melakukan pengusutan terhadap oknum yang terlibat dalam kasus tersebut.

"Polri harus bertindak dengan jujur. Kan jelas dalam kasus ini mereka bisa mengusut siapa saja yang terlibat, terus apa saja yang dilakukan hingga kematian terjadi, serta alasan jelas mereka melakukan tindakan seperti penganiayaan," ujar Muzakir kepada Republika.co.id, Selasa (12/4).

Muzakir menjelaskan, tindakan personil Densus 88 dalam menangani Siyono secara jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kematian di tangan aparat hukum merupakan kejahatan yang bisa dipertanggungjawabkan secara pidana, sama halnya dengan pelanggaran lainnya.

"Siapa saja yang terlibat dan terbukti melakukan kesalahan dalam kasus ini bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Logikanya, kasus lain saja seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) diproses, apalagi ini tindak pidana yang dilakuakn sendiri oleh penegak hukum," jelas Muzakir.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement