REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi'i menyoroti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang cenderung mengidentikkan terorisme dengan Islam. Hal itu terlihat dalam nota-nota kesepahaman BNPT yang mayoritas dengan organisasi-organisasi Islam.
"Tidak ada agama yang mengajarkan teror. Mengapa teroris identik dengan Islam? Di dalam Islam tidak ada ajaran untuk menjadi teroris. Bila Islam itu teroris, maka MUI adalah sarang teroris," katanya dalam rapat dengar pendapat Komisi III dengan BNPT di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/4).
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan BNPT perlu mendefinisikan terorisme secara jelas. Pemaknaan terorisme yang tidak jelas, bahkan bermakna ganda, bisa menimbulkan hal yang berbahaya di masyarakat.
Dari definisi tersebut, Syafi'i mengatakan Densus 88 juga perlu membuat prosedur standar operasional dalam penanganan terorisme. Apalagi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan terdapat 121 terduga teroris yang tewas tanpa melalui proses hukum sejak Densus 88 berdiri.
"Program deradikalisasi akan terbantu kalau Densus 88 memiliki prosedur standar operasional yang jelas dalam menangani terorisme. Bila tidak ada perbaikan, program deradikalisasi hanya akan menjadi omong kosong," tuturnya. Syafi'i mengatakan kematian Siyono setelah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri bisa memicu kemunculan radikalisme baru.
"Anak-anak, keluarga dan orang-orang yang bersimpati dengan Siyono bila tidak ditangani dengan baik bisa menjadi bibit-bibit radikalisme baru," kata dia.