REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Tim Pembela Kemanusiaan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, pendamping keluarga almarhum Siyono, meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meneruskan hasil temuan dokter forensik atas meninggalnya Siyono usai ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88.
Tim kuasa hukum juga meminta Komnas HAM meningkatkan penanganan hukum atas kasus itu dari penyelidikan menjadi penyidikan pelanggaran HAM."Kita juga tengah membuat surat ke Kapolri untuk menyelesaikan pemeriksaan etik dan meningkatkan pemeriksaan kasus ini pada tindak pidana pembunuhan karena telah ada yang meninggal," ujar Ketua Tim Pembela Kemanusiaan PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo di Kantor Pusat Studi HAM, UII Yogyakarta, Rabu (13/4).
Dua hal itu yang menurut Trisno saat ini tengah disiapkan oleh tim kuasa hukum keluarga Siyono. Saat ditanya terkait hasil autopsi Siyono yang sempat dinilai ilegal, Trisno mengatakan, bahwa yang melakukan autopsi adalah dokter ahli forensik. Tim dokter melakukan autopsi juga atas permintaan keluarga almarhum. "Dan hasilnya suatu surat yang dikeluarkan oleh dokter, apapun bentuknya itu dikeluarkan ahli dan bisa jadi bukti ke pengadilan," ujarnya.
Tim kuasa hukum keluarga Siyono juga mempertanyakan status almarhum saat pemeriksaan aparat kepolisian."Kalau kami melihat dari surat pemeriksaan ayah Siyono jelas dinyatakan tersangka. Tapi kami tidak tahu kapan dinyatakan sebagai tersangka. Dan ini yang kami kejar. Kalau itu sebagai tersangka, maka semakin jelas pelanggaran pidana terhadap siyono," ujarnya.
Eko Riyadi yang juga anggota tim sekaligus Ketua Pusham UII mengatakan, pihaknya mengappresiasi langkah Polri menangani kasus tersebut. Meski begitu, kata dia, penegakan hukum tetap harus dijalankan sesuatu undang-undang yang berlaku.
"Kasus Siyono ini harus menjadi momentum kepolisian untuk mengevaluasi Densus 88. Karena Densus juga harus tunduk hukum dan tidak ada jaminan khusus terhadap Densus tersebut, sehingga semua prosedur hukum harus di penuhi oleh Densus," ujarnya.