REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan, sebagian dari biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digunakan untuk membayar penyakit akibat rokok. Hal ini mengakibatkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara akan semakin meningkat.
Abdillah menjelaskan, berdasarkan data Riskerda 2007 proporsi konsumsi tembakau pada peserta jaminan kesehatan untuk yang merokok setiap hari mencapai 25,9 persen dan peserta yang merokok kadang-kadang sebesar 5 persen. Sedangkan, karakteristik perokok berdasarkan kelompok usia dan kepemilikan jaminan kesehatan yakni usia 35-44 tahun sebesar 24,9 persen dan usia 25-34 tahun sebesar 24 persen.
"Seharusnya program tersebut dibarengi dengan upaya promosi kesehatan dan pencegahan yang efektif untuk mengurangi rokok," ujar Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4).
Abdillah menegaskan, semakin banyak konsumsi rokok maka biaya kesehatan yang ditanggung oleh negara akan semakin tinggi. Karena itu, industri rokok perlu dikawal dari hulu sampai hilir. Abdillah menjelaskan, kerugian makro ekonomi akibat merokok mencapai Rp 44 triliun per tahun.
Abdillah mengatakan, biaya manfaat JKN akibat penyakit terkait dengan tembakau pada 2015 mencapai Rp 427,47 miliar untuk penyakit paru obstruktif kronik. Sementara itu, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan, dan disabilitas akibat rokok sebesar Rp. 105,3 triliun.
Menurut Abdillah, pengecualian orang yang merokok dalam program JKN masih sulit diterapkan. Semestinya, pemerintah memikirkan pencegahan konsumsi rokok secara meluas. Misalnya, ada program untuk berhenti merokok gratis bagi masyarakat yang ikut JKN.
"Selama konsumsi rokok masih tinggi maka akan tetap menjadi beban pemerintah. Jadi semestinya ada upaya untuk mengurangi prevalensi merokok," kata Abdillah.