REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Mohammad Hailuki, menyarankan, Partai Golkar harus tetap mempertahankan khittahnya sebagai kekaryaannya. Hal ini terkait rencana penyelenggaraan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar pada Mei mendatang.
Sebelumnya, panitia pengarah Munaslub Partai Golkar berencana untuk menerapkan kebijakan setoran terhadap para bakal calon ketua umum. Hailuki pun menilai, kebijakan ini malah semakin membuat Golkar menampilkan diri sebagai partai yang didentik dengan politik transaksional.
Padahal, dalam forum tertinggi partai politik, baik itu kongres ataupun munas, pada bakal calon ketua umum harus beradu gagasan atau ide yang sesuai dengan ideologi partai.
''Golkar mesti bisa mereformasi diri jangan lagi menampilkan diri sbgi partai konglomerat yg identik degan politik transaksional dan high cost,'' ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (14/3).
Untuk itu, ia menyarankan Golkar harus bisa kembali ke khittah kekaryaannya dan kembali menampilkan kekuatan ideologi gotong royong. Pada dasarnya, berdasarkan sejarah pembentukannya, Golkar terdiri dari organisasi trikarya, yaitu Kosgoro, MKGR, dan Soksi. Ideologi inilah yang seharusnya dipertahankan oleh seluruh kader Partai Golkar, termasuk para elit partai.
''Garis perjuangan dari tiga organisasi ini kan adalah gotong royong dan kekeluargaan, bukan transaksional,'' kata peneliti dari Centre for Indonesia Political and Social Studies (CIPSS) tersebut.
Selama Partai Golkar tidak kembali ke ideologi kekaryaan dan gotong royong, lanjut Hailuki, maka sulit bagi Partai Golkar untuk bisa melepaskan diri dari politik-politik transaksional.
"Selama Golkar tidak kembali ke khittah gotong royong, maka syarat apapun yang diterapkan dalam kongres atau munas tidak bisa menghilangkan pola-pola transaksional,'' ucapnya.