REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau Aher meminta roda pemerintahan di Kabupaten Subang tidak boleh terganggu. Ini terkait dengan kasus Bupati Subang Ojang Sohandi yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemberian suap kepada jaksa Kejati Jabar oleh KPK.
"Saya katakan kemarin waktu Musrembang kepada ibu Wakil Bupati Subang (Imas Aryumningtias) bahwa (roda pemerintahan) jalan saja resmi seperti biasa. Tapi Hal-hal terkait keseharian adalah jalan saja, seperti tidak ada masalah," kata Ahmad Heryawan, di Gedung Sate Bandung, Jumat (15/4).
Ia mengatakan pihaknya akan berkonsultasi dengan pemerintah pusat terkait urusan yang menyangkut peraturan bupati atau surat keputusan (SK) bupati di Kabupaten Subang setelah kepala daerahnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. "Karena sepanjang statusnya masih bupati, maka SK-nya harus SK bupati, pun demikian dengan perbupnya masih bupati," kata Aher.
Pihaknya menunggu perintah dari pemerintah pusat terkait penetapan status tersangka kepada orang nomor satu di Kabupaten Subang. "Kami tunggu perintah pemerintah pusat lah. Kita tunggu saja. Tentu ada perundangan yang ngatur itu kan. Detailnya tanya kepada Asda I Jabar ya, Karena dalam tahapan non aktif kan masih ada, yang jelas kemarin ditanyakan oleh Pemkab Subang adalah bagaimana pemerintah saat ini," kata dia.
Pada 12 April 2016, KPK menetapkan Bupati Subang Ojang Sohandi sebagai tersangka dugaan pemberian suap kepada jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Barat berkaitan dengan pengamanan kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kabupaten Subang pada 2014.
"Setelah 1x24 jam, KPK melakukan gelar perkara dan memutuskan untuk meningkatkan status ke penyidikan dan menetapkan lima orang tersangka yaitu pemberi LM (Lenih Marliani), JAH (Jajang Abdul Kholik) dan OJS (Ojang Sohandi)," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Ketiganya terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kabupaten Subang pada Senin (11/4). KPK menuduh mereka melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga terancam pidana paling singkat lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta.