REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia harus bersiap menghadapi kehadiran teknologi bahan bakar sel (fuel-cell ) yang mulai diaplikasikan pada berbagai peralatan dalam kegiatan manusia. Hal itu diungkapkan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jarot Raharjo.
Jarot di Jakarta, Jumat (15/4), mengatakan penerapan dan produksi perangkat dengan teknologi fuel-cell mulai banyak dilakukan oleh sejumlah negara karena faktor sumber energi yang ramah lingkungan.
Dia mencontohkan, produksi mobil berbahan bakar hidrogen fuel-cell yang mulai banyak didistribusikan oleh produsen besar seperti Toyota, Honda, dan Hyundai.
"Toyota sudah meluncurkan mobil berbahan bakar hidrogen pada 2015, dan 2016 ini mulai didistribusikan di sejumlah negara," kata Jarot.
Ia menjelaskan teknologi fuel-cell sudah terbukti laris untuk dikomersialisasi di banyak negara dan akan lebih banyak lagi digunakan di masa depan.
Jenis fuel-cell yang menggunakan bahan bakar hidrogen, yakni polymer electrolite membrane fuel-cell, merupakan yang paling umum digunakan seperti pada mobil karena kebutuhan energinya termasuk skala menengah ke bawah.
Perusahaan besar otomotif dunia menghadirkan kendaraan dengan bahan bakar hidrogen yang mengubah energi kimia menjadi energi listrik dikarenakan penggunaannya yang rendah emisi.
"Hasil pembuangan dari fuel-cell bisa dikatakan nol emisi," jelas dia. Selain itu pembakaran bahan bakar teknologi fuel-cell bisa efisien yang mencapai 70 persen dengan sisa pembuangan hanya air atau uap air.
Di Indonesia, teknologi fuel-cell sudah digunakan untuk kebutuhan pembangkit daya di menara Base Transceiver Station (BTS) sejumlah perusahaan operator.
Namun perusahaan produsen perangkat fuel-cell belum ada di Indonesia, melainkan hanya penyedia jasanya saja seperti PT Cascadiant Indonesia yang mengaplikasikannya pada bidang telekomunikasi.