‘’Buatku jilbab adalah alat perlindungan diri. Jilbab adalah pakaian penutup aurat yang mampu melindungiku, menjaga murid-muridku agar tetap aman dan nyaman selama berada di desa terpencil,’’’ begitu isi curahan hati Meiliani Fauziah yang akrab dipanggil Sarah ketika menceritakan pengalaman hidupnya menjadi seorang ’pengajar muda’’ di program Indonesia Mengajar tahun 2015.
Selanjutnya, inllah kisah Sarah yang juga putri mendiang wartawan legendaris RCTI Ersa Siregar ketika menemukan ketertarikannya mengenakan jilbab justru ketika hidup jauh dari hiruk pikuk ibu kota dan orang tuanya:
Aku baru saja kembali dari tugas mengajar di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Selama satu tahun, aku bertugas menumbuhkan sebanyak-banyaknya gerakan pendidikan. Saat pertama kali menginjakan kaki di desa, rambutku masih cepak. Kontras dengan penampilan kebanyakan perempuan di Paser. Walaupun tidak selalu berpakaian panjang dan tertutup, perempuan di desa hampir selalu mengenakan jilbab di kepala mereka. Ini dilakukan semua perempuan, mulai dari anak kecil sampai nenek-nenek. Mungkin ini bentuk dukungan kepada Bupati (yang saat itu masih bertugas) yang mengusung kampanye “Kabupaten Paser yang Agamais.”
Rambut cepak ini ternyata mengundang perhatian banyak orang. Pertama kali tampil di kelas, aku menerima banyak pertanyaan dari siswa. Rupanya banyak yang baru pertama kali melihat perempuan berambut pendek. Banyak pertanyaan lain juga datang dari para tetangga. Mereka bilang lucu ada perempuan rambutnya sependek aku. Perempuan tentulah lebih ayu jika rambutnya panjang menjuntai. Akan lebih cantik lagi kalau berjilbab.
Sekitar satu bulan di desa aku mulai akrab dengan murid-muridku, meskipun belum mengenal seluruh warga desa. Kalau dirunut, satu desa ini bagaikan sebuah keluarga besar. Tidak heran kalau aku punya banyak sekali paman, uwak dan lainnya. Aku memang menempatkan diri sebagai anak angkat. Apapun panggilan yang digunakan anak mereka maka akan kuikuti.
Suatu pagi muridku bercerita bahwa kemarin diberhentikan segerombolan pemuda desa saat main sepeda. Mereka bertanya tentang diriku, asal-usulku, status pernikahan, dan hal-hal semacam itu. Muridku diminta menanyakan hal ini padaku di sekolah. Saat itu aku menjawab saja tanpa berpikir macam-macam.
Beberapa hari kemudian murid lain datang. Kali ini terang-terangan, dia menanyakan pendapatku tentang seorang pemuda yang aku tidak tahu. Katanya, pemuda itu kerap menguntitku ketika aku mengjar les di rumah salah seorang murid. Dua kali seminggu memang aku memberikan les pelajaran bagi murid yang mau. Aku kaget, karena aku bahwa tidak sadar pemuda yang mana ya?
Aku menjadi gusar. Kekhawatiran banyak orang kala pertama kali aku bercerita tentang Kalimantan berdengung di kepala. Jadi ketika kami bersilaturahmi ke rumah Komandan Distrik Militer setempat, aku bercerita pada Komandan. Lalu Dandim memerintahkan anak buahnya untuk lebih sering mampir ke desa kami.