Sabtu 16 Apr 2016 15:09 WIB

Gerakan Pembaruan Deklarasi Rebut Kedaulatan Migas Indonesia

Migas
Foto: AP
Migas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi, raja, aktivis, lembaga swadaya masyarakat, dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Pembaruan Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Indonesia mengikrarkan proklamasi kedaulatan Migas Indonesia di Tugu Proklamasi, Jakarta, Jumat (15/4).

Ketua Pusat Studi Hukum, Ekonomi, dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas (Unhas) Makassar Juajir Sumardi membacakan Proklamasi Kedaulatan Migas Indonesia yang terdiri dari empat poin. Salah satunya menyebutkan, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak mengimplemetasikan hakikat kedaulatan negara terhadap Migas dan tidak sesuai amanat UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan 17 pasalnya.

“Bahkan, tata kelola minyak dan gas bumi Indonesia terjebak dalam rezim hukum kapitalis liberalis yang mengakibatkan pengelolaan Migas pada sektor hulu telah berada dalam penguasaan pihak asing,” kata Juajir.

Atas dasar itu, berbagai elemen masyarakat Indonesia yang terdidik dan berkebangsaan yang digagas Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Unhas, Ikatan Cendikiawan Keraton Nusantara (ICKN), dan Yayasan Raja Sultan Nusantara (Yarasutra) mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk merebut kembali kedaulatan Migas Indonesia dari tangan asing.

“Mengajak seluruh elemen rakyat Indonesia untuk menyatukan barisan dan merebut kembali kedaulatan Migas Indonesia melalui Gerakan UU Migas Indonesia yang berpihak pada kepentingan negara dan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Juajir melanjutkan, pihaknya telah menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas yang akan diusulkan kepada DPR dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Naskah akademik yang digagas oleh Unhas ini sudah dibahas di forum focus group discussion (FGD) di beberapa universitas.

Ketua Umum Yarasutra Sultan Iskandar Muhmud Badaruddin menyatakan, sudah bukan zamannya lagi bangsa Indonesia masih dibodoh-bodohi, seperti pada era kolonial yang mengeruk seluruh kekayaan negeri ini dengan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang tidak mencerminkan Pasal 33 UUD 1945.

“Ini sangat miris sekali, kita sudah dijajah secara halus oleh asing. Ini harus dikembalikan ke pangkuan bumi pertiwi demi kemakmuran dan kemaslahatan rakyat Indonesia. Kami raja dan sultan, mendukumg program yang prorakyat ini. Kita akan membangkitkan yang ada di eksekutif dan legislatif. Mengingatkan bahwa mereka itu berasal dari rakyat, maka harus berjuang untuk rakyat,” katanya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Ferdinan Hutahean menambahkan, sektor energi Indonesia saat ini banyak yang dikuasai oleh asing. Begitupun di sektor-sektor lainnya.

“Ini ada sebuah politik global yang ingin mengebiri perusahaan negara yang namanya Pertamina dikecilkan. Kemudian terkait cadangan energi nasional, cadangan BBM negara kita hanya 18 hari, sementara di Singapura, Korea, dan di mana-mana, cadangan itu 90 hari. Ini sangat rentan pada ketahanan nasional,” katanya.

Ketua DPP Presidium ICKN Muhammad Asdar menyatakan, pendapatan dari sektor Migas terhadap bangsa baru mencapai Rp 300 tirliun sampai Rp 350 triliun per tahun atau baru sebesar 15 persen dari APBN yang jumlahnya mencapai Rp 2.000 triliun.

“Jadi, baru 15 persen sumbangsihnya. Kalau kita naikkan 50 persen saja, berarti sudah Rp 1.000 triliun. Ini bisa untuk beasiswa dari SD sampai perguruan tinggi, utang-utang kita semakin berkurang. Jadi, kuncinya di Migas, kalau kita kuasai 55 persen saja, kemakmuran sudah di tangan,” kata Asdar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement