REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu agenda utama di Munaslub Golkar adalah memilih ketua umum yang baru. Namun, berdasarkan keputusan panitia pengarah atau sterring comitte (SC) Munaslub Golkar, bakal calon ketua umum harus menyetorkan sejumlah dana sebagai persyaratan untuk maju di bursa pemilihan ketua umum.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai, jika persyaratan setoran sejumlah uang itu tetap diterapkan, dikhawatirkan penyelenggaraan Munaslub tidak akan demokratis dan rekonsiliatif. Pasalnya, lanjut Arie, dengan adanya syarat tersebut, maka bakal calon ketua umum yang bisa maju adalah yang hanya memiliki kekayaan saja.
''Munaslub pun akhirnya bisa jauh dari misi pembaruan Golkar, yang rekonsiliatif, demoktratis. (Kebijakan) itu hanya akan menjaring kelas-kelas kakap. Kalau keputusan itu tetap dipakai, tidak ada harapan bagi Golkar untuk bisa menyatukan semua komponen, siapapun yang nantinya menjadi ketua umum,'' ujar Arie kepada Republika.co.id melalui sambungan telepon, Ahad (17/4).
Arie menjelaskan, dengan kebijakan setoran uang tersebut sebenarnya Golkar justru membenarkan tindakan-tindakan berpolitik dengan menggunakan uang. Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM itu pun menilai, kebijakan setoran uang dari bakal calon ketua umum itu bakal meminimalisir praktek politik uang.
''(Kebijakan) itu namanya Golkar melegalkan cara-cara peralihatn kekuasaan dengan modal uang. Itu legalisasi uang dalam proses politik,'' ucap Arie.
Tidak hanya itu, Arie menyebutkan, penerapan kebijakan ini juga akan melegalkan adanya oligari politik yang berdasarkan uang. Arie menyarankan, seluruh pembiayaan Munaslub seharusnya ditanggung oleh organisasi.
Termasuk soal biaya transport dan akomodasi dari peserta Munaslub. ''Bisa pakai kas Partai Golkar, baik itu oleh pengurus pusat ataupun di daerah, yang penting transparan,'' kata Arie.