REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar merasa perihatin dan sedih dengan pembongkaran di Kawasan Pasar Ikan dan Kampung Aquarium, RW4, Penjaringan, Jakarta Utara. Karena sebelum dilakukan penggusuran, nelayan di sana sudah hidup susah.
"Sebab nelayan kadang kala mendapatkan ikan, kadang kala bisa tidak mendapatkan apa-apa," kata Musni mengungkapkan kesedihannya, Ahad (17/4).
Musni menuturkan, mereka yang bekerja sebagai pelaut sudah seharusnya berada di dekat laut. Meskipun sebagian dari mereka sudah pindah, namun dari rusun Marunda ke tempat mereka mencari nafkah tiga kali menggunakan kendaraan umum. Sedangkan di rusun Rawa Bebek lebih jauh lagi.
"Jadi mengapa sebagian dari mereka tidak mau pindah. Pertama memang jumlah tempat yang disediakan tidak memadai," tegas dia.
Alasan sebagian mereka tidak ingin pindah antara lain karena tempat yang disediakan pemerintah provinsi (Pemprov) DKI jauh dari tempat mereka mencari nafkah. Selain itu, pendidikan anak-anak warga Kampung Aquarium akan terbengkalai.
Persoalan yang muncul yang harus diperhatikan pemprov DKI adalah mereka yang masih bertahan di perahu. Pemerintah harus memahami, di sana panasnya luar biasa di siang hari, sedangkan malam hari dingin menusuk tulang. Sementara mereka juga memiliki anak-anak kecil di sana.
"Pastinya hal itu membuat trauma anak-anak. Karena rumah mereka digusur, dan yang menggusur adalah aparat, jadi itu sangat tidak positif," imbuh dia.
Menurut Musni, para nelayan tentu saja menolak jika disuruh pindah. Sedangkan upaya pengusiran mereka dari laut menambah kekejaman Pemprov DKI. Hal tersebut karena rumah mereka telah dirubuhkan, dan nelayan tidak boleh berada di tempatnya mencari nafkah.