Selasa 19 Apr 2016 11:54 WIB

Kebijakan Stabilisasi Pangan Dinilai tak Konkrit

Petani memeriksa tanaman bawang merah di area persawahan Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah, Senin, (11/4). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petani memeriksa tanaman bawang merah di area persawahan Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah, Senin, (11/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Stabilisasi pangan memiliki dimensi keberpihakan pemerintah untuk melindungi petani di saat harga jatuh di panen raya, di samping melindungi konsumen ketika harga harga pangan meningkat. Peningkatan harga pangan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan inflasi, menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengancam ketahanan nasional.

Hal itu mengemuka dalam acara diskusi mengenai pangan di Jakarta. Saat ini, Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati tidak melihat adanya kebijakan stabilisasi harga pangan pemerintah yang konkrit. Kebijakan yang ada dinilai hanya bersifat artifisial, seolah-olah membantu petani, namun sebetulnya tidak. "Kenyataannya tidak ada perbaikan bagi petani, harga pangan secara umum di tingkat petani tetap rendah," ujar dia.

Selain itu, kebijakan pembangunan pertanian saat ini dinilai Enny masih reaktif. Ia menyontohkan kasus impor jagung yang baru baru ini terjadi. Ia heran jagung impor yang sudah masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok itu tiba-tiba dikatakan ilegal. 

Pemerintah, ujar Enny, perlu mengubah orientasi kebijakannya dari swasembada kepada peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan apapun yang tidak mengubah kesejahteraan petani, maka kebijakan itu tidak hadir untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan pertanian. Hal inilah yang mengakibatkan gagalnya berbagai macam program swasembada pangan yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini dan sebelumnya. 

Dalam rangka stabilisasi pangan, pengamat pertanian Khudori, menyatakan Indonesia memerlukan Badan Otoritas Pangan. Badan ini untuk mengkoordinasikan, mensingkronisasikan dan menyusun program pembangunan pangan. Saat ini penanganan stabilisasi pangan diwarnai dengan banyaknya kebijakan yang berserakan, tidak terpadu dan bahkan berpotensi tumpang tindih. 

Adapun Deputi Kementerian Perekonomian Mushdalifah Machmud mengatakan stabilisasi pangan mutlak diperlukan. Alasannya, saat ini harga pangan di tingkat konsumen sudah 70 persen di atas harga internasional. "Ini jelas merugikan konsumen, sementara petani tidak mendapatkan keuntungan yang adil dari tingginya harga pangan tersebut," ujar dia.

Musdhalifah menyarankan agar pemerintah berhasil melakukan stabilisasi harga pangan, maka instrumen pokoknya bukan di peningkatan produksi pangan. Pemerintah justru perlu menyusun sistem alokasi distribusi panen raya dan panen gadu. Selanjutnya, pemerintah bisa lebih fokus pada stabilisasi harga di tingkat petani dengan tujuan meningkatkan pendapatan dan daya tawar petani.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement