REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK -- Terik sinar matahari terasa menyengat kulit. Hembusan angin pantai yang bertiup semilir rupanya tak kuasa meredam hawa panas yang menyelimuti Dusun Seriwe, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (18/4).
Untuk menuju dusun ini, perlu waktu sekitar tiga jam perjalanan darat dari kota Mataram. Setibanya di lokasi, pandangan mata justru langsung tertuju pada hamparan pasir putih yang menutupi bibir pantai.
Air terlihat tenang dengan warna biru kehijauan. Tenangnya air ini tak lepas dari posisi dusun Seriwe yang menjorok pada bagian teluk. Lalu pada hamparan pantai, terlihat juga sampan-sampan nelayan yang tengah 'parkir' tanpa nahkoda.
Ah, sungguh siang yang begitu menggoda untuk menceburkan diri. Tapi sayang, agenda siang itu bukanlah untuk memuaskan hati membasahi diri dengan pantai berpasir putih itu. Kedatangan rombongan dari Universitas Darma Persada (Unsada) Jakarta ke dusun ini justru untuk melihat kick-off program yang diharapkan menjadi cikal bakal buat 'kehidupan baru' bagi masyarakat pesisir Seriwe.
Berjarak sepelemparan batu dari bibir pantai, sebuah bangunan berwarna biru tampak mencolok. Warna biru itu berasal dari bahan polycarbonate yang menutupi seluruh bangunan berukuran 8x16 meter. Profesor Kamaruddin Abdullah menyebut bangunan itu sebagai rumah kaca. Kamaruddin adalah ketua tim pengembangan Model Desa Energy, Economic, Enviromently Independent (E3I) sekaligus Direktur Pascasarjana Unsada.
Fungsi bangunan berwarna biru itu merupakan tempat penyimpanan rumput laut milik anggota Koperasi Cottoni Seriwe. Layaknya rumah kaca pada laboratorium penelitian, bangunan ini memiliki kontrol udara dan panas yang lebih terkendali dibandingkan dengan lingkungan luarnya.
''Rumput laut yang dikeringkan di rumah kaca ini lebih bersih dan bisa menjadi lebih cepat keringnya,'' jelas Syaifuddin, ketua Koperasi Cottoni.