REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena manusia perahu dan sejumlah warga Pasar Ikan atau Kampung Aquarium, RW 4, Penjaringan, Jakarta Utara, yang menolak untuk tinggal di rumah susun menandakan kebutuhan manusia tidak dinilai hanya dengan tempat tinggal. Mereka pun membutuhkan faktor ekonomi, sosial, dan budaya yang juga harus diperhatikan.
Anggota Komisi A dari Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo, mengatakan dengan memindahkan sejumlah warga ke rumah susun (rusun) belum tentu menjamin kehidupan ekonominya.
"Mereka yang bermatapencaharian nelayan disuruh mengubah mata pencaharian itu belum tentu bisa berubah dalam waktu cepat, butuh adaptasi, sedangkan kebutuhan ekonomi tidak bisa ditunda," kata dia, Rabu (20/4).
Rio menuturkan, mereka juga membutuhkan pendekatan dengan lingkungan dan tetangga baru dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dalam kehidupan sosial dan budaya. Seharusnya, pembongkaran untuk revalitasi Pasar Ikan dimusyawarahkan oleh gubernur DKI Jakarta kepada warganya terlebih dahulu. Tentu saja sebelum melakukan pembongkaran terhadap ratusan rumah di sana.
"Jika memang mau menata Ibu Kota, tidak juga perlu digusur, dipindahkan ke tempat lain, apalagi dipindahkannya jauh dari tempat tinggal semula yang juga memengaruhi anak-anak yang masih sekolah," kata dia.
Rio menilai gubernur DKI Jakarta sebagai pemimpin di DKI merupakan penguasa wilayah. Jika memang pembongkaran tersebut untuk kemakmuran rakyat, mengapa tidak diberikan saja tanah untuk ganti rugi mereka. Sebab, warga Pasar Ikan sudah hidup di tempat tersebut berpuluh-puluh tahun yang lalu dengan legal.
Sebelum manusia perahu dipindahkan ke Kali Adem, ada baiknya Pemprov DKI memikirkan hal-hal tersebut. Sebab, sejumlah penduduk Pasar Ikan juga merupakan anak-anak negeri dan Pemprov DKI memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk memberi kemakmuran kepada warganya.