REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman mengatakan pihaknya berada pada posisi mendukung Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror untuk memberantas terorisme. Kendati demikian, ia meminta Densus tetapi tetap mengutamakan hak asasi manusia (HAM).
"Karena itu prosedur standar operasional perlu dijalankan oleh Densus 88. Nanti mungkin perlu dipikirkan apakah perlu ada panitia kerja untuk melihat cara kerja Densus," kata Benny dalam rapat Komisi III bersama Kepala Kepolisian RI di Jakarta, Rabu (20/4).
Senada dengan Benny, anggota Komisi III Daeng Muhammad mengatakan DPR bukan tidak mendukung polisi atau Densus 88 dalam memberantas terorisme. Namun sebagai legislatif yang memiliki fungsi pengawasan, DPR harus mengingatkan kepolisian.
(Polri tak Persoalkan Orang Tua Siyono Menolak Memberi Keterangan)
"Tugas mulia yang diemban Polri harus dilakukan secara mulia. Selama ini ada program deradikalisasi, tetapi kalau penangananya salah, malah bisa memunculkan radikalisasi baru," tuturnya.
Daeng mengatakan perlu ada penguatan penerapan prosedur standar operasional dalam penanganan terorisme. Barangkali, menurut dia, di tingkat pimpinan Polri prosedur sudah dibuat dengan baik, tetapi penerapan di bawah yang masih kurang baik.
Sementara itu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengakui ada prosedur standar operasional yang dilanggar Densus 88 dalam penanganan Siyono, terduga teroris yang tewas setelah ditangkap. "Anggota yang menangani dan komandannya saat ini sedang diperiksa dan menjalani sidang disiplin karena ada kelalaian," katanya.
Badrodin mengatakan prosedur standar operasional yang dilanggar anggota dalam penanganan Siyono adalah hanya dikawal oleh satu orang dan dalam keadaan tidak diborgol. Menurut Badrodin, sudah ada peraturan Kepala Polri yang mengatur prosedur pengawalan terhadap terduga teroris, yaitu harus dikawal oleh lebih dari satu orang, dan prosedur tentang pemborgolan.