REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Luar Batang dan Pasar Ikan belakangan ini kembali ramai menjadi perbincangan masyarakat tak hanya mereka yang tinggal di ibu kota namun juga di daerah lain yang mengikuti perkembangan berita mengenai penggusuran warga disana oleh Pemprov DKI Jakarta awal April 2016.
Pro dan kontra mewarnai penggusuran atau bisa secara halusnya disebut sebagai penertiban hunian warga yang dianggap berdiri di atas tanah milik negara. Luar Batang dan kawasan Pasar Ikan di Jakarta Utara memang dikenal sebagai salah satu lokasi pemukiman padat penduduk.
Warga yang tinggal di lokasi itu rata-rata berprofesi sebagai nelayan. Hal itu dapat dimaklumi karena memang lokasi itu berdekatan dengan Teluk Jakarta atau kawasan di Jakarta yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Kawasan itu bukan baru dibuka dan dihuni dalam 10 hingga 20 tahun yang lalu, Luar Batang dan Pasar Ikan merupakan salah satu wilayah yang telah ada sejak kota Jakarta masih bernama Jayakarta lebih dari 100 tahun yang lalu, bahkan saat masih bernama Batavia.
Nama daerah Luar Batang sendiri, menurut Adolf Heuken dalam "Historical Sites of Jakarta", berawal dari didirikannya semacam basis kongsi dagang Inggris atas seizin Pangeran Jayawikarta, penguasa ketiga Jayakarta pada 1615.
Basis kantor kongsi dagang Inggris tersebut yang disebut, "lodge" atau log atau batang kayu, kemudian semakin lama semakin luas wilayah melebihi lokasi awal yang kemudian disebut dengan Luar Batang atau dalam bahasa Inggris disebut "outside the log" yang berada di Utara Pasar Ikan.
Nama Luar Batang itu kemudian masih digunakan hingga saat ini dan berkembang menjadi sebuah lokasi perkampungan padat penduduk yang dihuni juga oleh para nelayan dan pekerja di bidang informal lainnya hingga saat ini.