REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyayangkan sikap Presiden yang cenderung pro terhadap Rancangan Undang Undang Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty). Terutama karena tidak mempertimbangkan unsur dana hasil korupsi dalam negeri yang ditimbun di luar negeri.
Pada Senin (25/4), rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, yang membahas RUU Tax Amnesty menghasilkan satu keputusan mengejutkan. Keputusannya yakni berupa diperbolehkannya pelaku korupsi memanfaatkan fasilitas tersebut oleh pemerintah.
Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto mengatakan hasil rapat terbatas di atas semakin menegaskan bahwa RUU Tax Amnesty sangat dekat dengan 'pengampunan' terhadap dana hasil kejahatan ekonomi dan korupsi yang telah beranak pinak serta berkembang di luar negeri seperti hasil mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Dengan sikap demikian, maka ini adalah karpet merah untuk konglomerasi hitam, koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi," ujarnya di Jakarta, Selasa (26/4). Argumentasi pemerintah bahwa RUU Tax Amnesty untuk menyelamatkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai sangat tidak benar. Sebaliknya, negara cenderung tunduk pada konglomerat, pengusaha dan koruptor.
"Buktinya, dengan asumsi upeti di RUU yang hanya 2, 3 dan 6 persen maka perkiraan hanya Rp 50 triliun dari ribuan triliun yang akan masuk ke APBN. Negara tidak untung, yang untung konglomerasi, pengusaha dan koruptor," kata Yenny.
Dengan niatan RUU Tax Amnesty yang cenderung tidak pro rakyat ini maka FITRA mendesak agar Presiden dan DPR membatalkannya. Penolakan ini, kata dia, adalah suara rakyat yang harus di dengar seperti dalam petisi di change.org.