REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekjen Pimipinan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Penulis Buku Benturan NU dan PKI, Abdul Mun'im DZ mengatakan, saat eksis dulu, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan serentetan aksi pemaksaan. Mereka merebut tanah para kiai dan merusak beberapa masjid dan langgar.
Dalam bidang budaya, kata Mun'im, PKI membuat lakon drama dengan cerita Lahirnya Gusti Allah, Matinya Gusti Allah dan sebagainya. "Di bidang politik mereka menginfiltrasi birokrasi, TNI dan partai lain lalu mengacau di dalam," katanya, Selasa, (26/4).
Bahkan, kata dia, PKI menyebut para kiai sebagai setan desa yang harus dilenyapkan. Makanya, para kiai diburu oleh PKI sehingga selama beberapa tahun. Sejak merajalelanya PKI, para kiai dan pimpinan NU mengungsi.
"Kejadian itu dialami semua warga masyarakat. Oleh karena itu, ketika PKI memberontak, seluruh rakyat yang selama ini di bawah teror PKI bangkit melawan," ujar Mun'im.
Akibatnya, terjadi pertumpahan darah di antara keduanya. Setelah kudeta yang disponsori PKI yang membentuk Dewan Revolusi itu juga bergerak di daerah dengan mengambil beberapa kekuasaan daerah, seperti di Lasem, Kantor Camat dipindah ke pesantren.
Begitu juga Kecamatan Gondang di Klaten juga mengungsi karena diambil alih Dewan Revolusi alias PKI. Di Pekalongan, Pimpinan NU dipaksa ikut Dewan Revolusi, tapi melawan sehingga PKI dikalahkan.
"Melihat berbagai aksi kekejaman PKI, seharusnya negara tidak boleh minta maaf kepada PKI. Sebab dengan membubarkan PKI berarti negara dan pemerintah menjaga keutuhan dan keamanan negara dan melindungi rakyat dari teror PKI," kata Mun'im.
Sejarah, kata dia, tidak boleh dibelokkan untuk kepentingan politik tertentu. Apalagi bukti keterlibatan PKI dalam kudeta 1965 semakin nyata. Hal itu tak bisa dipungkiri.